Mohon tunggu...
Zarmoni
Zarmoni Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penggiat Seni dan Budaya Kerinci

Penggiat Seni, Adat dan Budaya Kerinci

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

"Tale" dan Seni Kerinci yang Hampir Punah

3 Agustus 2022   16:20 Diperbarui: 3 Agustus 2022   16:31 1687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri. Tale dalam tari rangguk

"TALE" DAN  SENI LISAN KERINCI DI UJUNG SENJA

Disusun Oleh : Zarmoni

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tale artinya "Pengucapan", sedangkan menurut kaidah bahasa Kerinci, tale ialah "untaian kata penuh makna berupa syair yang dilantunkan dalam nyanyian".

Di Kabupaten Kerinci, tale ini banyak macam ragamnya, seperti melepaskan keluarga merantau mencari rezeki, tale keberangkatan untuk menunaikan ibadah haji, pun tale tentang kerinduan terhadap kampung halaman, orangtua, kekasih, maupun anak. 

Sedangkan untuk menghafalkan suatu ilmu dizaman dahulu, banyak yang dibawakan dalam tale seperti pengajian adat, maupun pengajian syari'at/ ilmu agama.

Lahirnya tale ini dikarenakan pada zaman dahulu masyarakat belum banyak yang pandai tulis baca, adapun jenis huruf atau aksara kerinci yang berbentuk huruf "incung/rencong" hanya diketahui segelintir orang, kemudian pada perkembangan berikutnya masyarakat menggunakan aksara jawi (arab melayu).

Beberapa kebudayaan Kerinci yang berbentuk tale dan hampir punah diera millenial ini adalah :

1. Tale Cinta Kasih dan Kerinduan

Tale cinta ini merupakan ungkapan perasaan seseorang pada masa itu baik kisah cinta yang membahagiakan, perasaan rindu pada kampung halaman, patah hati, dan lain sebagainya. Dalam pelaksanaannya, penduduk kadangkala menggunakan media seruling sebagai alat musiknya. Tale yang dibawakan kadang disebut juga dengan "Barendie"

Ndiih.... rindiih...lah rindih....alah...

Cinak minin pumennyo ahi.....

iluk alah nian sayang aeh.... dimunanam kacang...

Ndiih.... rindiih...lah rindih.... alah...

Cinak alah minin pumen lah nyo kami....

Patut alah nian sayang aeh.... kami lah tibuang...

 

Aduhai....aduh...aduh....

Seperti ini keadaan hari...

Sangat bagus wahai kekasihku untuk menanam kacang

Aduhai....aduh...aduh....

Seperti ini lah keadaan diriku

Pantas benar wahai kekasihku badan terbuang

2. Tale Naek Ji (tale keberangkatan ibadah haji)

Tatkala masa dahulu, ketika seseorang mukmin akan menunaikan rukun Islam kelima, ia akan menempuh perjalanan panjang, menempuh hutan rimba raya, kampung dan negeri dengan adat istiadat yang berbeda, menempuh gunung yang tinggi, serta berlayar dilautan yang luas, memakan waktu yang cukup lama. 

Kadang banyak yang meninggal sebelum sampai ke negeri Makkah, ada yang tidak kembali ke kampung halaman. Ingin dihubungi tak tentu di rantau mana ia berada, dinegeri mana ia bertahta, karena alat komunikasi belum canggih seperti sekarang ini. 

Maka, ketika keluarga akan berangkat menunaikan ibadah haji, sanak keluarga yang tinggal akan membawakan tale, yang berisi suatu keikhlasan melepas mereka, mungkin suatu saat akan bersua kembali, atau malah hilang tak tentu rimbanya. Dalam arti kata, tale yang dibawakan itu akan mewakili ungkapan perasaan sanak keluarga yang ditinggalkan.

"hu Allah batu ji allah he yaho batu digumbak hu allah

"hu Allah batu taletak allah he yaho luwa mangkuto hu Allah

"hu Allah tujuh musim allah he yaho di lamun umbak hu allah

"hu Allah maksud atu allah he yaho ku Mekah jugo''

 Batu Haji Batu bergombak

Batu terletak di luar Mahkota

Tujuh musim dilamun ombak

Maksud hati ke Mekkah jua

 Kompasiana : Kreator: H. H. Sunliensyar

 

3. Maatab/mratap (Meratap)

Maatab/mratap merupakan sebuah ungkapan penyesalan, kekesalan, patah hati akibat ditinggalkan oleh orang tercinta, baik yang meninggalkan untuk pergi merantau, meninggal dunia, maupun hilang tak tentu rimbanya. Dalam hal ini maatab/mratap banyak terdengar tatkala seseorang yang dikasihi meninggal dunia.

 Ndhiih... yo aeh.... piyo cpat nian kayo pgi...

Ndiih iyo alah aeh... kayo bujanji dingan badan ini

Kito kawin sudah nyabit... piyo minin kayo pgi...

Ninggan badan kami sdang nih sayang....

Kenapa terlalu cepat tuan pergi

Tuan sudah berjanji denganku

Kita akan menikah setelah musim panen... kenapa sekarang tuan pergi

Meninggalkan ku yang sedang menyayangi

4. Nyaro/Nyaho (Seruan memanggil roh ninik moyang)

Nyaro/nyaho merupakan suatu tradisi masyarakat Kerinci dalam melakukan ritual pemanggilan roh/arwah nenek moyang yang dilantunkan dengan irama yang khas serta media ritual lainnya seperti api kemenyan (dupa), serta sirih pinang dan bebungaan.

Haih.... berkat ninek ku Tuo Jagung Tuo....

Jagung Tuo nih tunggu negeri.... iyo dimununggu negeri dingan gedang

Haih.... kayo turun nih suli lubuk suli... dimunepat ku dalam luhah jagung...

Luhah jang murajo nih indah... sungai langit depati marajo....


Aduhai... berkat leluhurku Tuo Jagung Tuo

Jagung Tuo Tunggu Negeri... yang menghuni negeri besar

Aduhai... tuan berasal dari negeri Lubuk Suli... menghuni negeri Suku Jagung

Suku Jagung Marajo Indah Sungai Langit Depati Marajo

5. Tale Tari Asyik

Tale tari asyik merupakan nyanyian untuk mengasuh penari dengan memanggil dan memuja arwah nenek moyang supaya arwah leluhur menjelma kedalam tubuh penari. Sehingga gerakan penari akan semakin memukau dan membuat gerakan yang terbawa arus dengan media musik yang digunakan berupa rebana dan gong.

6. Ngaji Adat

Ngaji adat merupakan cara menghafal hukum-hukum adat dan sejarah ninik moyang dengan cara nyanyian/tale. Karena suatu ilmu apabila dibawakan dalam bentuk nyanyian, akan mudah diingat dan dihafal. Ngaji adat ini telah hampir punah, karena tokoh-tokoh adat yang baru banyak yang tidak pernah ikut mengaji adat ini. Adapun alat musik yang digunakan dalam membawakan ngaji adat ini ialah media sendok dan piring.

Bismillah itu mulo dikato, dititahkan nabi panghulu kito, jadi adat dingan pusako, sudah dipakai urang tuo-tuo, supayo sarak mak nyo nyalo, supayo adat mak nyo nyato. 

Ado dih mulayu ngato:

Naki Bukit Kejang Salepak, disitu bane batumbuh tigo, sejaklah Ninek turun ka Mamak, tibo diMamak turun ka Kito.

Bismillah itu mulai berkata, dititahkan nabi penghulu kita, untuk menjadi adat dan pusaka, sudah dipakai oleh orang tua-tua, agar hukum syara' menyala, supaya adat menjadi nyata.

Ada pepatah adat yang berbunyi :

Naki Bukit Kejang salepak disana Dahan bertemu tiga, dari leluhur turun kepada paman, sampai di paman turun kepada kita.

7. Ngaji Baramulo

Nagji baramulo ini merupakan penghafalan hukum-hukum agama, baik rukun, larangan, dan suruhan dalam beribadah. Seperti "Baramulo" tentang puasa, isinya mencakup tentang hal-hal yang berkenaan dengan ibadah puasa yang dibawakan dengan irama yang khas agar mudah dihafal oleh peserta.

Baramulo, rukun smbakyang itu ado tigo bleh parakaro...

Yang partamo tegak dingan bnar, yang kaduo dimumbaco niat....

Bermula rukun shalat itu ada tiga belas perkara

Yang pertama berdiri dengan betul, yang kedua membaca niat

Masih banyak lagi bentuk tale yang berasal dari Kerinci dilestarikan dan banyak juga yang hampir punah. Kearifan lokal yang lahir dan diwarisi turun temurun kini nasibnya diujung tanduk dan diujung senja peradaban.

Tergantung generasi muda yang menjaga dan melestarikan kearifan lokal agar ia tetap abadi atau hilang tak tentu rimbanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun