DALAM TINGKATAN DUDUK ADAT DI TIGO LUHAH TANAH SEKUDUNG SIULAK-KERINCI
Dalam suatu keluarga di Kerinci, memiliki Teganai yaitu kepala suku/kalbu, dan Anak Jantan untuk mengurus permasalahan yang terjadi didalam keluarga maupun suku/kalbu nya.
Dalam hal permasalahan, perselisihan dan persengketaan (rangkang dan silang) dalam suatu keluarga, suatu kelompok, maupun suatu kampung di Tigo Luhah Tanah Sekudung Siulak Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi, maka akan diadakan duduk bermusyawarah dengan beberapa tingkatan adat sesuai dengan situasi dan kondisi masalah yang dihadapi.
Pada umumnya adat istiadat di Kerinci ini semuanya sama, namun pemakaiannya yang berlainan, sebagaimana dalam seloka adat disebutkan Adat lata pakai salepeh, pemakaian itu ado barlainan.
Jika perselisihan terjadi dalam suatu keluarga yang masih satu rumpun/kalbu (suku/klan), maka hukum adat disini dimulai dari “Namago Lapu” (lembaga dapur) yang terdiri dari Depati seorang, Ninik Mamak seorang, dan Anak Jantan seorang, dalam seloka adat disebutkan Pintu suah samo disuhu (satu pintu sama di tempuh).
Dalam perselisihan inilah pungsi Ninik Mamak sangat dibutuhkan yaitu untuk menjernihkan air yang keruh, mengusai benang yang kusut (Rangkang susun silang patut).
Sementara itu, jika perselisihan yang terjadi dengan orang lain maka akan berlaku duduk dalam perundingan Namago Kurung, Namago Negeri, ataupun Namago Alam (Untuk penjelasan tentang Namago ini akan diuraikan pada Bab khusus kajian Dasar-Dasar Hukum Adat Tigo Luhah Tanah Sekudung Siulak).
“Meh Anguh” yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai Emas Hangus atau dalam istilah lainnya di Siulak Kerinci disebut “Batu” dalam duduk berunding ialah biaya untuk duduk dalam menyelesaikan masalah.
1. Ada tiga jenis Meh Anguh/Batu yang dipakai :
1) Meh sapetai lima belas bentuk cincin
- Meh sapetai ialah meh teganai/anak jantan, dengan batu nya senilai lima belas bentuk cincin. Cincin maksudnya disini ialah sama dengan uang (alat tukar menukar barang zaman dahulu). Lima belas bentuk cincin ini bernilai Rp. 1.500,- Rp. 15.000,- Rp. 150.000,- Rp.1.500.000,- yang jelas harus lima belas.
2) Meh Sekundi dua puluh bentuk cincin
- Meh sekundi ialah meh Ninik Mamak, dengan batunya senilai dua puluh bentuk cincin. Untuk nilai tukar nya dengan mata uang berkisar Rp. 2.000,- Rp. 20.000,- Rp.200.000, - dan seterusnya tergantung dari permasalahan yang di hadapi.
3) Meh Sa ameh empat puluh bentuk cincin
- Meh saameh ini ialah meh Depati Penghulu, dengan batunya senilai empat puluh bentuk cincin berkisar antara Rp. 4.000,- Rp. 40.000,- Rp. 400.000,- dan seterusnya.
Dalam kasus permasalahan yang terjadi di Tanah Siulak jalur hukum adat yang dipakai ialah “Batakaha naek bajenjang turun” (ikuti tahapannya), langkah pertama yang dipakai ialah duduk berunding secara kekeluargaan dengan istilahnya duduk anak jantan dengan Meh Anguh nya Lima belas bentuk cincin.
Jika tidak bisa dengan duduk Anak Jantan, maka diadakan duduk Ninik Mamak dengan Meh Anguh nya dua puluh bentuk cincin, sedangkan untuk langkah berikutnya Duduk Depati Panghulu Meh Anguhnya empat puluh bentuk cincin.
Kegunaan Meh Anguh ini ialah untuk diberikan kepada Anak Jantan, Ninik Mamak, dan Depati yang mengikuti perundingan tersebut.
2. Tata Cara Penggunaan Meh Anguh :
- Duduk Anak Jantan : Beras diisi dalam cerana/piring sebanyak satu setegah canting (canting disini ialah kaleng bekas tempat Susu Indomilk) ditambah tiga genggam, Sirih satu ikat, gambir satu ikat, pinang satu tangkai, dan kapur, ditambah dengan Manek Sebah (Tasbih) beserta dengan Meh Sapetai / lima belas bentuk cincin untuk duduk Anak Jantan;
- Duduk Ninik Mamak : Beras diisi dalam cerana/piring sebanyak satu setegah canting ditambah tiga genggam, Sirih satu ikat, gambir satu ikat, pinang satu tangkai, dan kapur, ditambah dengan Glang Pihak (Gelang Perak) beserta dengan Meh Sakundi / dua puluh bentuk cincin untuk duduk Ninik Mamak;
- Duduk Depati : Beras diisi dalam cerana/piring sebanyak satu setegah canting ditambah tiga genggam, Sirih satu ikat, gambir satu ikat, pinang satu tangkai, dan kapur, ditambah dengan Krih Sabilah (Keris Sebuah) beserta dengan Meh Sa Ameh / empat puluh bentuk cincin untuk duduk Depati;
3. Hukuman/Denda Adat
Dalam kasus perselisihan di masyarakat Tigo Luhah Tanah Sekudung Siulak memakai istilah dalam seloka adat Mandang nga tinggi mak nyo rendah, mandang nga gedang maknyo kecik, mandang nga kecik maknyo abih. (Memandang yang tinggi supaya rendah, memandang yang besar agar ia kecil, dan melihat yang kecil agar ia habis). Hukuman adat yang berlaku memakai denda per kayu kain.
Satu kayu kain, nilainya Rp. 25,-(dua puluh lima rupiah). Tergantung masalah yang dihadapi, bisa dendanya 1 kayu kain kecil nilainya Rp. 2.500,- Rp.25.000,- dan 1 kayu kain besar Rp. 250.000,- Rp. 2.500.000,- sedangkan untuk masalah yang dianggap besar maka nilai hukuman atau denda adatnya bisa bernilai, 4 kayu kain besar, 5 kayu kain besar, dan lain sebagainya.
4. Naik Banding Persidangan
Setelah melalui tahapan perundingan duduk Anak Jantan, Duduk Ninik Mamak, dan Duduk Depati, keputusan masalah tersebut tidak puas diterima oleh yang kalah, maka yang kalah dapat menaikkan banding untuk duduk Sidang Adat yang lebih tinggi, yakni Duduk Adat Tigo Luhah Tanah Sekudung Siulak yang dihadiri oleh Tiga Depati Dominan, yakni Rajo Simpan Bumi dari Luhah Siulak Gedang, Depati Intan dari Luhah Siulak Mukai, dan Depati Mangkubumi dari Luhah Siulak Panjang.
Adapun tempat perundingannya ialah salah satu Rumah Gedang Celak Piagam, namun pada zaman dahulu lebih di Rumah Gedang Pasusun Rajo Simpan Bumi Siulak Gedang, namun untuk sekarang ini sering dipakai di Rumah Gedang Depati Intan Siulak Mukai dan Rumah Gedang Depati Mangkubumi di Siulak Panjang.
Adapun Meh Anguh untuk duduk Adat di Tigo Luhah Tanah Sekudung Siulak tentunya membutuhkan biaya yang besar, tergantung masalah yang dihadapi dan resiko dalam pengambilan keputusan tentunya mempertaruhkan Sumpah Karang Satio dan Al-Qur’an tiga puluh juz.
5. Meh Anguh Dalam Penerimaan Warga Baru
Kerinci merupakan daerah yang mulai berkembang dan tentunya banyak masuk para pendatang yang mau membikin rumah baru, mengontrak untuk berdagang dan berbisnis.
Namun setiap daerah mempunyai peraturan adat setempat yang menentukan cara masuk untuk menjadi warga suku/kalbu dalam masyarakat adat di desa setempat.
Adapun cara masuk untuk menjadi “Anak Batino” dalam wilayah adat tigo luhah tanah sekudung siulak ada tiga cara.
Untuk warga suku/orang lain membuat rumah baru dan menetap di Siulak, atau orang yang mengontrak rumah ada cara masuk dengan:
- Breh saratuh kbau saiku (Beras Seratus Kerbau Satu Ekor) kelebihannya ini orang yang bersangkutan statusnya tidak ada bedanya dengan Anak Batino lain didalam suku/kalbu orang tersebut. Ia mendapat hak dan kewajiban yang sama, jika ia mau membangun rumah maka Teganai akan memberikan tanah tempat rumah, jika ia mau berladang ataupun bersawah teganai akan memberikannya lahan. Namun untuk sekarang ini jarang diberlakukan dengan Breh saratuh Kbau saiku ini, karena lahan untuk perladangan sudah tidak mencukupi lagi.
- Breh Duo Puluh Kambek saiku (Beras Dua Puluh Kambing Satu Ekor) ini cara masuk untuk Mencari/Menumpang Depati Ninik Mamak Anak Jantan Teganai Rumah. Orang yang bersangkutan akan dititipkan pada salah satu Teganai dari kalbu yang ada di desa tersebut dan mendapat hak serta kewajiban yang sama. Namun ia tidak berhak menuntut untuk mewarisi harta pusaka dari suku/kalbu yang bersangkutan.
- Breh Sapinggan Ayam Saiku (Beras Sepiring Ayam Satu Ekor) ini cara masuk untuk orang dagang/menumpang/mengontrak sementara untuk berdagang/berbisnis. Ia juga mempunyai hak dan kewajiban, hak nya ialah ia bisa mengadu keluh kesah kepada Teganai di desa tersebut, dan mendapat hak jika ada pembagian di desa tersebut.
Demikianlah catatan kecil ini semoga bermanfaat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI