Mohon tunggu...
Zara Fauziah Disyafa
Zara Fauziah Disyafa Mohon Tunggu... -

yang bermodalkan impian untuk maju menata masa depan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menjadi Penulis: Impian atau Sebatas Ingin?

7 September 2010   15:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:22 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Sebuah renungan seseorang yang tengah meniti mimpi menjadi penulis)

“Rajin mengintip update status serta note FB milik Pipit Senja dan buah hatinya --Butet dan Haekal Siregar, mengirim permintaan pertemanan pada Facebooker --yang kelihatannya-- senang menulis, hingga akhirnya didatangi Tias Tatanka dalam mimpi.”

Impian itu berbeda dengan keinginan. Pada dasarnya keinginan akan mudah menguap seiring dengan rasa jemu yang hadir dalam benak kita. Sementara impian ibarat energi yang membuat kita mampu melakukan berbagai hal untuk meraihnya.

Bisa jadi impian yang kita miliki berawal dari keinginan. Hal itu bisa saja terjadi, toh nyatanya banyak karya yang berawal dari ketidaksengajaan. Tapi begitulah, mereka yang cerdas mampu merubah hal sepele menjadi luar biasa oleh sebab keinginan untuk menambahkan nilai lebih pada yang biasa tersebut menjadi ”LUAR BIASA”. Alhasil saat berbagai langkah dilakukan sebagai wujud usaha untuk memenuhi keinginan, maka keinginan tersebut bukan lagi menjadi sebuah keinginan tetapi telah berbuah manis menjadi impian.

Namun tak jarang cita-cita yang telah kita canangkan hanya bermuara pada sebatas keinginan. Tak jauh-jauh contohnya, aku di masa kecil punya banyak cita-cita profesi (mulai dari Polisi Lalu Lintas, Guru Bahasa Indonesia, wartawan, bidan, ahli pertanian, model, arsitek, penulis, ahli IT, serta lain sebagainya) namun semuanya belum ada yang kesampaian bahkan terlupakan begitu saja lalu tergantikan oleh cita-cita yang lain. Rupanya cita-citaku hanya sebatas keinginan yang tak diiringi langkah-langkah konkrit untuk mewujudkannya (walaupun ada, hanya satu-dua langkah lalu berhenti karena lelah ataupun jenuh). Cita-cita yang dulu pernah mendesak untuk diwujudkan itu menguap dan terlupakan begitu saja.

Jika diperbolehkan melakukan pembelaan atas kegagalan dalam mempertahankan dan meraih cita-cita tersebut, aku punya banyak pembelaan. Tapi ini kan bukan sidang pengadilan yang mempunyai waktu luang untuk mendengarkan pembelaanku, jadi aku tak akan membahasnya. Saat ini aku hanya ingin mengatakan bahwa kini --oleh sebab karena faktor keadaan yang tak memungkinkan, hehhee....bela diri lagi nih-- aku telah mengganti cita-citaku. Kini cita-citaku ialah menjadi Mom Entreupreneurship --sebagai langkah awal, inginnya jadi karyawan sebagai bekal lebih oke dalam memulai jadi wirausaha, kemudian menjadi dosen wirausaha serta penulis.

Jika berbicara mengenai ketiga cita-citaku tadi mungkin hanya ada satu yang baru, yaitu Mom Entreupreneurship. Yah...., Mom Entreupreneurship terhitung cita-cita baru bagiku. Niat itu baru muncul saat aku terpaksa mengambil kuliah di STIA Banten dengan Program Studi Ilmu Adminstrasi Bisnis --yah..., terpaksa karena ini opsi terakhir yang dipilih, satunya-satunya problem solving atas kendala biaya yang menghadang saat hendak kuliah.

Sementara cita-cita dosen bisa jadi imbas dari keinginan tertahan untuk menjadi guru. Yah dulu sempat ingin menjadi Guru Bahasa Indonesia, hal ini terinspirasi saat ada guru baru di SD tempatku belajar --kebetulan beliau ahli dalam Bahasa Indonesia dan mengajar bidang studi tersebut di SMP Negeri di kampungku. Begitulah cita-cita ini terhenti, saat di Madrasah Aliyah lebih menyukai komputer dan ingin menjadi ahli IT. Tapi tetep waktu itu pengen juga menjadi guru IT. Maka setelah kini tahu bahwa dengan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, menambah wawasan, serta keikhlasan untuk mengabdi, menjadi dosen pun menjadi pilihan. Hanya saja pilihannya mengarah pada dosen wirausaha. Rencananya ingin menjadi dosen praktisi, berhasil dalam praktek kemudian menyalurkannya ke dunia akademik.

Tapi dari sekian cita-cita itu ada yang spesial. Dari kecil sampai kini, kata “Menjadi Penulis” tetap terucap saat ditanya tentang hal yang ingin dicapai. Meski sampai sekarang belum ada karya nyata yang bisa dijadikan sebagai bukti bahwa “Menjadi Penulis” benar-benar aku inginkan.

Suami sempat protes. “Banyak banget cita-citanya. Mana yang mau dijalankan?” tanyanya. Tentu saja aku membela diri, “Nggak lah..., bisa dijalankan semuanya kok. Pengusaha sebagai upaya ngumpulin uang, sebagai bekal juga buat ngejar jenjang pendidikan lebih tinggi. Justru kalau usahanya sukses berarti agak freedom waktu, karena kita adalah bosnya jadi bisa luangkan waktu buat jadi dosen. Kan ilmunya lebih oke kalau dibagi ma orang lain juga. Kalau penulis, mesti dicapai agar ilmu kita gak hanya sebatas di lingkungan terdekat tapi menyebar lewat buku-buku, selain itu walaupun kita sudah meninggal tapi karya kita akan mencipta jejak,” aku menjelaskan panjang lebar.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa impian akan mengantarkan kita pada langkah-langkah dalam upaya berusaha mewujudkan apa yang dicita-citakan. Sejauh ini aku terlihat kembang-kempis dalam menunjukkan minatku untuk menjadi penulis. Aku malas untuk mengirim tulisan ke media --majalah ataupun koran-- alasannya karena merasa yakin yang ngirim tulisan banyak dan redaktur tidak akan sempet meriksanya satu-satu, aku khawatir usahaku sia-sia. Bahkan saat mengetahui ada lomba menulis, aku baru benar-benar memikirkan naskah menjelang detik-detik terakhir dedline penutupan penerimaan naskah (alhasil naskah yang dikirimkan kurang maksimal gregetnya, bahkan adapula yang tak sempat dikirim karena terlanjut ditutup). Kini saat ada media online yang memberikan kesempatan pada kita untuk memperlihatkan karya pada halayak ramai di dunia maya, aku masih ogah upload tulisan, masih dengan alasan klise “males karena kadang-kadang loading lama di koneksi internetnya”.

Semangat yang Sedang Mekar

Ditengah pesta pusing yang dirayakan otak akibat belum punya kerjaan dan skripsi yang belum juga kelar, semangat menulis itu pun mekar. Gara-garanya sepele --Juli 2010-- lalu aku menikah, karena keinginan untuk memberikan cinderamata yang unik untuk para tamu maka aku dan suami memutuskan untuk memberikan buku mini berisi cerpen karyaku sebagai cindramata dan ternyata ada yang suka. Jelas saja aku makin rajin nulis cerpen.

Tak hanya itu, berbagai upaya aku lakukan. Mengirim cerpen ke media menjadi aktivitas baruku (meski hanya via e-mail saja), tapi begitulah sampai sekarang belum ada yang lolos untuk diterbitkan. Hunting informasi lomba menulis pun menjadi hobi baru. Ironisnya kini rajin mengintip update status serta note FB milik Pipit Senja dan buah hatinya --Butet dan Haekal Siregar-- karena berharap dapat ilmu menulis dari mereka (semoga kalo mereka baca tidak merasa di mata-matai). Dan jika beberapa hari lalu rajin update status tentang rasa cinta pada suami, kini lebih menyukai mengirim permintaan pertemanan padaFacebooker --yang kelihatannya-- senangmenulis. Kini akun-akun aku pun tercecer di blogspot, kompasiana, multiply serta facebook, dengan harapan dapat mempublikasikan tulisan ke khalayak.

Puncaknya, saat sebuah pesan masuk ke inbox FB. Hilal Ahmad --sang pelopor GILALOVA 2 dari Rumah Dunia-- mengirimi pesan yang isinya menjelaskan bahwa cerpenku diterima sebagai salah saatu cerpen dari 25 cerpen yang akan diterbikan dalam GILALOVA 2. Ini sih....masih rencana, baru akan dirilis, belum diterbitkan. Masih butuh persiapan yang lainnya. Semoga saja berjalan lancar

Tapi toh tetap ini seperti angin segar. Ingin rasanya terus berkarya hingga pesan-pesan seperti itu tak hanya dari Hilal, tak hanya satu kali. Maka aku kian senang menulis. Bangun tidur menulis meski hanya beberapa rangkai kalimat. Sebelum tidur menulis meski hanya beberapa saat. Hingga akhirnya pada Minggu malam (05 September 2010) lalu tidurku seperti didatangi Tias Tatanka )istri Gola Gong dan juga pendiri Rumah Dunia), ia bercerita tentang pentingnya berlatih agar menjadi penulis hebat.

”Menjadi Penulis!”

”Benarkah ini impian?”

”Benarkah tak sebatas ingin saja, agar populer seperti mereka yang telah dahulu populer karena menulis?”

”Semoga semangat yang kini tengah ada mengubah ingin menjadi impian hingga aku tak lelah untuk membuatnya menjadi nyata!”

Amien.....!

http://www.facebook.com/note.php?saved&&note_id=439078326440

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun