Mohon tunggu...
Zaqqy Augten Kusuma
Zaqqy Augten Kusuma Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Saya sangat suka mengeskpresikan perasaan saya lewat lagu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dewasa Tanpa Peran Seorang Ayah

25 November 2024   09:23 Diperbarui: 25 November 2024   09:58 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Ternyata begini rasanya hidup tanpa peran seorang ayah. Siapa sih yang tidak ingin memiliki kehidupan yang nyaman, harmonis, mendapat perhatian dan dukungan dari ayahnya. Namun, mengapa aku tidak bisa memiliki kehidupan itu ?, aku selalu cemburu ketika ada seorang anak ketika di manja oleh ayahnya, ketika seorang anak bermain dan bercerita kepada ayahnya. Aku selalu berfikir, apakah aku tak pantas mendapatkanya?, ternyata kasih sayang ayah tidak bisa digantikan dengan apapun. Tapi aku yakin, Allah pasti memberikan yang terbaik buat aku. Aku ingin menceritakan semua yang aku rasakan selama ini, semoga setelah aku menceritakan semua ceritaku, perasaanku menjadi lebih baik, aku semakin semangat menjalani jari hariku, dan aku lebih ikhlas bahwa kenyataanya hidupku memang ditakdirkan seperti ini. Perkenalkan namaku adalah Jaka. Cerita ini berisi tentang kisah hidupku yang bisa di bilang menyedihkan, aku yang memiliki seorang ayah tapi aku kehilangan peranya di hidupku.

Seorang ibu yang terus bersabar menghadapi berbagai macam cobaan yang mungkin orang lain akan menyerah jika diberi cobaan seperti ibu, aku tidak bisa membayangkan jika harus menjadi seperti ibu, aku setiap hari menangisi keadaan seperti ini. Aku sangat benci dengan keadaan yang aku alami, aku membenci ayah yang tidak pernah memikirkan perasaan ibu dan perasaan keluargaku. megapa ayah setega itu melakukan hal yang membuat ibu sakit hati, mengapa ayah setega itu membiarkan ibu, kakak, dan aku. Untung saja aku masih memiliki ibu yang sangat kuat menghadapi segala cobaan, dan kakak yang selalu siap menenangkan hati dan selalu mengusahakan untuk ibu dan aku. Tapi aku sekarang senang dengan keadaan yang seperti ini, tidak ada pertengkaran dirumah, tidak ada lagi yang menampar ibu, tidak ada lagi yang selalu menyalahkan aku dan kakak. Tapi aku rindu ketika dirinya (ayah) masih sayang dan selalu perhatian ke aku ketika kecil. Aku rindu jalan jalan bersama ayah, ibu, dan kakak. Aku tau bahwa ini tidak akan bisa terulang, tapi jika bisa mengulang waktu, aku selalu ingin hidup di masa itu.

Saat itu, aku dan ibu sedang di ruang tamu, ibu sedikit membersihkan ruang tamu yang terlihat kotor, dan aku duduk di dekat ibu membersihkan, kami pun saling bercerita. "Ibu, maafkan aku belum bisa membuat keadaan membaik, aku tau ibu selalu sedih saat ayah ingin menceraikan Ibu." Memeluk Ibu. "Nak, jangan pernah berkata seperti itu, kamu adalah anak yang paling mama banggakan dan karena kamu mama mampu bertahan sampai sekarang. Ayah mungkin seperti itu karena dia tidak bisa menerima kita lagi, dan mungkin ayahmu sudah menggangap ibu tidak sempurna dan sudah ada yang ia cintai selain ibu." mencoba terlihat tegar menerima. "Tapi ibu, ibu adalah wanita paling sempurna yang pernah ada di dunia ini, mengapa ayah jahat sama ibu, mengapa ayah jahat sama kita, mengapa ayah jahat menceraikan wanita sebaik ibu, apa ayah sudah lupa dan tidak sayang lagi sama kita?" sambil menangis. "Ayah tidak jahat nak, ayah sayang sama kita. ayah juga tidak akan pernah lupa sama kita" ibu meyakinkanku. "Jika ayah sayang dengan kita mengapa ayah melakukan ini semua bu, mengapa ayah memilih hidup dengan yang lain, dan berpisah rumah dengan kita bu, aku benci ayah bu, aku benci." Dengan nada yang keras. "Ayah melalukan semua ini demi kebaikan kita semua, kamu harus tau itu Jaka. Sudahlah ibu tidak apa apa jika itu yang terbaik buat kita." berkata lembut lalu menangis. Aku pun memeluk dan menenangkan ibu, setelah itu aku pergi keluar dan menuju di tengah sawah belakang rumahku, setelah sampai nya di sana aku duduk di pinggir sawah dan merenungi keadaan saat ini.

Aku membayangkan bagaimana hidupku kedepan, apa aku masih sanggup menahan beban yang ku hadapi, apa ibu masih sanggup menahan segala cobaan yang di beri. Aku rindu ketika
keluarga kita masih bersama seperti dulu lagi, menjalani masa-masa yang indah dan canda tawa yang tak akan bisa kurasakan lagi dan tidak akan bisa tergantikan dengan apapun. Andai bisa ku mengulang waktu, aku ingin selalu hidup di masa ayah dan ibu masih bersama.

Setelah aku pulang kerumah ada suara ayah di rumah yang sedang berbicara dengan Ibu. "Eh jaka sudah pulang, habis darimana saja nak, ayah mencari mu" ucap Ibu dengan lembut. "Mengapa Ayah datang kesini lagi, ingin menyakiti hati Ibu lagi?" dengan lantang. "Tidak boleh seperti itu Jaka kepada Ayah, Ayah kesini ingin menjenguk kita, Ayah ingin tau bagaimana kabar kita" mencoba menenangkan Jaka. "Tidak perlu Ibu, Ayah telah jahat kepada kita, aku tidak ingin bertemu Ayah lagi, aku benci Ayah!" dengan nada keras. "Stop, kamu bukanya sebagai Ibu mengajari anaknya dengan sopan santun malah membuatnya membenci Ayahnya sendiri, Ibu macam apa kamu ini!" dengan nada kasar. "Harusnya kamu sebagai Ayah yang bertanggung jawab di keluarga ini lebih mengutamakan anakmu dibanding memilih untuk berpisah. Apa kau tak kasihan melihat anak kita yang tiap hari sedih! dia benci kamu karena ulahmu, andai dulu kau tak meninggalkan kami, tidak memilih memiliki keluarga sendiri, kita ngga akan seperti ini, anakmu tidak akan membenci mu!" sambil menangis. Aku tak kuat melihat dan mendengar pertengkaran dari ayah dan ibu. "Cukup! apa ayah tidak malu dengan anakmu yang meihat ayah seperti ini. Apa belum cukup ayah membuat aku dan ibu menangis, harus menahan rasa kecewa dengan apa yang telah ayah perbuat pada kami. Aku ini anak ayah harusnya ayah memberikan contoh yang baik kepada anaknya bukanya seperti ini. Tak mengertikah ayah dengan perasaanku." Menangis dan kecewa.

"Lihat itu anak kamu. Jaka terlalu kecil untuk menerima semua ini mengapa kau tega seperti ini." Ibu menangis. "Diam, ini sudah jalan yang aku pilih aku sudah muak hidup dengan mu, aku sekarang sudah memiliki keluarga sendiri, dan memiliki istri yang lebih bisa mengerti dari pada kau, banyak
hal yang membuat aku memilih meninggalkanmu, yang jelas ini yang terbaik buat kita." Berkata dengan keras. "Berhenti, cukup. Ayah, apa ayan tidak mempunyai perasaan, apa yang tidak ibu lakukan demi ayah, kurang sayang apa ibu ke ayah, mengapa kau begitu mudah meninggalkan dan menggantikan ibu dan memilih untuk menikah lagi. Baik tinggalkan saja ibu, lebih baik ayah menceraikan ibu daripada aku harus melihat ibu menahan sakit hati karena ayah. Aku benci ayah, ku katakan sekali lagi, Aku benci ayah! pergi ayah dari sini, aku tidak ingin melihat ayah ada disini, pergi ayah, pergi !" dengan keras dan menangis. Ayahpun keluar tanpa meninggalkan sepatah kata pun.

"Ibu, maafkan aku, aku hanya tidak ingin mempunyai ayah yang tidak pernah mengerti perasaan kita, ibu yang sabar ya, Jaka selalu ada disini, Jaka akan selalu menemani ibu. Terimakasih ibu, Jaka sayang ibu." dengan lembut dan sedih. "Tidak apa - apa nak jangan dengarkan kata kata ayahmu yaa, doakan kita kuat menjalani ini semua nak, Terimakasih juga Jaka sudah mau menjaga ibu, ibu akan memberikan yang terbaik untuk Jaka, Ibu sangat sayang Jaka." Menangis terharu. "Kita lewatin ini bersama ya bu, terimakasih ibu tetap mau berjuang demi kakak dan Jaka." Memeluk Ibu.

Setelah itu, aku sering sedih ketika melihat ada anak yang di sayang sama ayahnya, meihat temanku yang di jemput sekolah dengan ayahnya, bahkan sepertinya ayahnya sangat sayang dengan anaknya, tapi mengapa aku tidak bisa seperti mereka? apakah ini adil?. Aku cemburu melihat anak yang memiliki keluarga cemara, yang orang tuanya masih bersama, ketika mereka bercanda seakan terulang memori ku di masalalu, ketika ayah dan ibu belum berpisah aku selalu bersama ayah dan ibu kemana pun. Tapi mungkin ini memang jalan yang terbaik buat aku dan ibu, aku di latih untuk menjadi kuat, untuk bisa menghadapi semua cobaan, dan tumbuh dewasa tanpa peran seorang ayah. Bersyukur ibuku selalu mendukung aku dalam hal apapun, ibu selalu mengusahakan jika aku butuh sesuatu, ibu ku sangat mengerti apa yang sedang aku rasakan. Aku juga memiliki seorang kakak yang sangat sayang dan mengerti adiknya, yang selalu memberiku semangat ketika aku sedih, yang selalu membantuku saat aku kesusahan.

Aku sering termenung meratapi hidupku, mengapa aku tidak seperti anak lain yang selalu di dukung oleh ayahnya, aku benar benar rindu kasih sayang ayah, aku aku benar benar rindu bagaimana rasanya di manja seorang ayah, di peluk ayah, dan berkeluh kesah tentang hari hariku dengan ayah. Andai ku bisa mengulang waktu, itu yang selalu aku pikirkan setiap hari dan setiap saat, aku menjadi tidak fokus saat melakukan hal apapun karena terpikir kan hal itu, tapi perlahan aku mencoba untuk ikhlas, bahwa ini sudah di atur oleh Allah, karena Allah tidak akan memberikan cobaan ke hambanya yang tidak sesuai dengan kemampuan hambanya. Mencoba selalu menerima bahwa memang aku di takdirkan seperti ini, ternyata berat menjalani hari hari tanpa adanya peran seorang ayah, ibuku yang berjuang mencari nafkah, menghidupi kakak dan aku, tapi ibuku tetap semangat menjalani hidupnya, maka aku harus jauh lebih semangat menjalani hidup ku. Biarlah ayah bahagia bersama pilihan hidupnya, meskipun aku benci ayah, tapi aku selalu menginginkan dan mendoakan semoga ayah hidup dengan baik, sepertinya ayah juga lebih bahagia bersama keluarga baru nya. Ibu terimakasih tetap mau bertahan hidup meski sudah di hadang berbagai macam cobaan di hidupmu. Untuk ayah terimakasih sudah pernah memberikan yang terbaik buat keluarga kita, meskipun pada akhirnya kau memberikan pelajaran hidup buat kita. Karena mu aku menjadi tau, Bagaimana Rasanya Dewasa Tanpa Peran Seorang Ayah. Buat kalian sayangi orang tua kalian, jangan sampai kisahku terjadi pada kalian, beruntung lah kalian yang masih memiliki keluarga yang harmonis. Aku sayang Ibu, aku sayang Ayah, aku sayang Kakak, aku sayang kalian semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun