Mohon tunggu...
zanna
zanna Mohon Tunggu... IRT -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cherry Blossom

4 April 2016   13:15 Diperbarui: 4 April 2016   14:06 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi : dokumen pribadi"][/caption]Gemeretak lirih suara tarikan koper masih mendominasi pendengaranku, diantara tenangnya suara aliran sungai dengan bebatuan yang menghiasi tepiannya itu. Kurasakan kembali hembusan angin yang sudah lama tak kujumpai selama setahun ini, kutinggalkan untuk kembali ke tanah dimana aku dilahirkan dan bertempat selamanya.
       

Kubidikkan mataku kedepan, mengarah pada deretan pohon cherry blossom yang berdiri anggun di kedua sisi jalan tempatku manapakkan kaki. Serpihan-serpihan bunganya yang terbang tertiup angin sesekali menyapaku, hinggap di pundak dan rambut panjangku. Bunga merah muda, langit biru, sungai jernih dengan tanah coklat muda di dasarnya. Warna-warna pastel yang Tuhan kombinasikan di musim semi ini terlukis indah di pikiranku, bersama kenanganku, dan dirinya dahulu….

Juni 2002, Jakarta

       Di bawah pohon mangga yang rimbun tak berbuah, aku dan Dimas menyandarkan diri di masing-masing sisi batang besarnya. Lelah kami setelah bermain hilang begitu saja setelah menghirup sepoi angin yang dikibas lembut oleh daun-daun hijau tuanya. Hanya kebiasaan sederhana yang selalu kami lakukan setiap hari selepas pulang sekolah inilah yang begitu menghiasi masa kecilku.
       

Aku menyibakkan rambut tipis yang sebagian menutupi mataku. Kulihat Dimas sudah beranjak lagi dari duduknya dan mengarah pada sebuah kotak biola yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi. Aku ingin jadi pemain biola, katanya setiap saat.
      

 Dengan hati-hati, dia mengambil biola itu dan mengusapnya beberapa kali.
      

 “Ran, kebetulan banget aku baru aja diajarin ibu lagu bertema musim semi. Mau dengerin, nggak? sambil bayangin pohon ini pohon sakura kesukaanmu, Ran,” katanya kemudian, sambil menunjuk pohon mangga yang masih kusandari ini.
     

   "Cherry blossom, Dimas…,” koreksiku.
        “Sama aja…,” sahutnya lagi
        “Beda dong, kalau bilangnya sakura berarti kan cuma di Jepang. Cherry blossom  ada di Jepang, China, Korea, Eropa, sampai Amerika,” sahutku lagi tak mau kalah.
      

  Dimas mengangguk-angguk mengalah, lalu tersenyum lebar menunjukkan deretan gigi serinya yang baru selesai tumbuh itu sambil mengacungkan telunjuknya seolah baru saja mendapat sebuah ide cemerlang.
        “Kalau udah besar nanti, kita mesti kesana, Ran.”
        “Kemana?” tanyaku belum paham.
        “Ke tempat yang ada cherry blossomnya. Dulu-duluan…. Yang paling dulu bisa bawa bunga itu kesini dia yang menang,” usulnya, sambil masih berimajinasi. “Oiya, tunggu.” Dimas melangkah lagi menuju tas ranselnya mengambil botol minum mungil miliknya dan secarik kertas berwarna kuning. “Ntar ditulis disini, cherry blossom mana yang kamu dapat,” lanjutnya lagi bersemangat.
        Aku pun tertarik dan mengangguk setuju. “Oke, siapa takut!” sahutku yakin. “Yang menang dapet apa?”
        “Hmm… dapet satu kupon permintaan,” lanjut Dimas setelah beberapa saat berpikir.
        Didalam tanah tepat dibawah pohon mangga itupun kami menyimpan botol berisi kertas yang harus diisi suatu saat nanti.

April 2015, Busan

“Dimaass… pelan-pelan! Awas nanti nabrak orang!!!”

Tiga kayuhan per detik. Aku masih ingat benar bagaimana Dimas membawaku dengan sepeda putih berkeranjang depan kala itu. Jantungku hampir terlepas dari persemayamannya jika dia tidak menghentikannya beberapa saat kemudian.


“Sampaiii…,” ucapnya dengan santai, lalu memarkirkan sepedanya dan membuka penutup mata yang sejak tadi mengganggu penglihatanku. “Sudah kubilang, kamu pasti suka,” lanjutnya lagi setelah melihat ekspresi kagumku pada hamparan bunga merah jambu cherry blossom yang tersusun rapi di sepanjang mata memandang.
        

Hari ini, 4 April, hari ulang tahunku yang bertepatan dengan puncak musim semi tahun ini. Aku sangat senang Dimas memberikanku kejutan indah di tahun pertamaku disini. Seketika aku sangat ingin memeluknya dan mengucapkan terimakasih, namun kini kulihat ia sudah beranjak ke salah satu pohon disana.

 “Dim, mau ngapain?” tanyaku saat melihatnya mulai bertingkah mencurigakan.

Kulihat dia hanya tersenyum penuh rahasia di balik wajah tampan yang mampu meluluhkan hati setiap wanita itu. “Ssstt... aku ambilkan sedikit buatmu,” katanya sambil berbisik.
 “Nggak usah, ntar di….” Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Dimas sudah mulai memanjat pohon itu.
Ah, sebenarnya aku menyayangkan kebodohannya yang harus memanjat. Kenapa tidak melompat? Dia kan tinggi, pastilah sampai.... Bagaimana kalau ada yang lihat?
 Hmm, benar saja, belum lama setelahnya ada orang yang lewat dan menegurnya, “Hei, sedang apa kamu?” kata pria paruh baya yang berpakaian khusus hiking lengkap dengan ransel dan tongkatnya itu.
Lucu, aku sampai harus menahan ledakan tawa saat melihatnya tiba-tiba terjatuh dan langsung membungkukkan badan berkali-kali untuk meminta maaf.
Setelah menyelesaikan masalahnya dengan pria itu, ia  kembali ke arahku dengan wajah masamnya. Dia bilang, dia pasti akan mencobanya lagi. Tentu dengan ucapannya yang selalu mantap dan begitu meyakinkan. Namun sepertinya itu hanya dalam kata saja. Pada kenyataannya, seminggu kemudian, entah karena alasan apa dia tiba-tiba harus pulang ke Jakarta.

 Kaos biru muda, celana jeans, kets putih, dan koper abu-abu. Aku masih ingat segala yang ia kenakan saat di bandara. Aahh~... tak lupa ia selalu membawa gantungan kunci ‘pria ber-hanbok’ yang selalu muncul dari saku celananya itu. Sebuah hadiah kecil yang pernah kuberikan padanya sebulan yang lalu. 

 “Hati-hati selama disini,” pesannya sebelum pergi. Senyum hangatnya itulah yang terakhir kali kulihat sebelum ia benar-benar pergi dan takkan pernah kembali setelah mengalami kecelakaan mobil yang merenggut nyawanya beserta seluruh keluarganya sesaat setelah tiba di Jakarta.

4 April 2016, Busan 

Kuletakkan koper hitamku disamping bangku kayu tempatku duduk saat ini. Kelopak bunga merah muda pun masih berterbangan didepan mataku dengan indahnya. Di depan sana dua anak kecil dengan cerianya berteriak, berlari berkejaran kesana-kemari, saling menghindar, dan kemudian sama-sama terduduk karena kelelahan. Lalu membeli eskrim? Ya, dulu aku dan Dimas juga bertingkah seperti mereka.

 Hh, entah kenapa semua keindahan ini menjadi terasa semu setelah melintas ingatan tentang Dimas. Seperti ada yang kurang tanpa dirinya. Aku pun lebih tertarik untuk membuka kembali botol yang sudah terkubur 14 tahun yang lalu itu. Kini botol itu ada di dalam tas kecilku, sudah kuambil beberapa waktu yang lalu. Memang benda itu sudah tak ada artinya lagi tanpa dia. Tapi saat ini yang ingin kulakukan hanyalah melengkapi misi ini. Ya, setidaknya bisa sedikit mengurangi kerinduanku padanya.

Kubuka gulungan kertas kuning itu, dan kutuliskan sesuatu diatasnya. Seperti kata Dimas dulu tentunya. Miris, aku hanya melakukan ini sendirian. Dan tak terasa pandanganku mulai kabur oleh air mata ketika kembali mengeja satu persatu tulisan yang ada disana.

Cherry Blossom (벚꽃)
- Korea -

        Ini untukmu, Dimas, gumamku dalam hati sambil melangkah ke salah satu pohon. Perlahan kusisipkan kertas kenangan itu diantara mekarnya bunga.
        “Yaahhh... jadi aku yang kalah ya.” Suara hangat yang sangat kukenal dan kurindukan itu tiba-tiba saja melintasi pendengaranku. Ah, hanya halusinasi. Akupun meraih dan menarik koperku kembali, mulai beranjak meninggalkan tempat ini.
        “Tunggu Rania, aku udah janji memberi bunga ini di hari ulangtahunmu.” Halusinasiku berkata lagi, kini dengan suara yang lebih rendah. “Lihatlah dulu, yang ini beda, punya dua warna. Merah muda seperti kesukaanmu, dan putih kesukaanku. Susah banget ngambil ini….”
        Aneh. Entah kenapa suara-suara kecil itu terasa semakin dekat. Bahkan kini aku bisa mendengar derap kaki yang melangkah mengarah padaku, merasakan tangan yang menyentuh bahuku. Hangat. Saat aku menoleh, dia telah berdiri disampingku sambil mengarahkan sekumpulan bunga cherry blossom padaku. Ya, dia benar-benar Dimas, sahabat kecilku, sahabat setiaku. Ini bukan halusinasi. Bahkan... kini aku bisa jelas melihatnya melemparkan senyum padaku.
        “Hai, Ran. Lama tak jumpa...,” sapanya kemudian, tentunya dengan senyuman hangat yang selalu kurindukan.

 

[caption caption="ilustrasi : dokumentasi pribadi"]

[/caption]

 

*Cerita ini dibuat sebagai bentuk terimakasih pada kota yang telah memberiku inspirasi dan banyak pengalaman berharga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun