Mohon tunggu...
Zanjabilla Maghantis
Zanjabilla Maghantis Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Seorang remaja yang gemar menulis dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bakar Sampah

10 Februari 2021   17:05 Diperbarui: 10 Februari 2021   17:19 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bau asap menusuk hidungku, baunya pekat sekali. Haduh, gumamku mengeluh. Pasti ada yang bakar sampah di samping rumah.

Ada rumah sederhana berukuran 6x9 meter, terletak di sebelah kanan rumahku. Konsep rumah itu, mirip rumah-rumah pada zaman penjajahan. Jendela yang masih menggunakan kusen besi, pintu terbuat dari kayu dengan ukiran-ukiran cantik dan masih memiliki sumur di belakang rumah. Sayangnya, rumah itu tidak terlihat antik.

Jendela sudah karatan, tembok yang semula berwarna putih. Sekarang catnya sudah mengelupas, warna temboknya juga sudah bercampur hitam dan coklat. Pintu ukiran yang seharusnya terlihat cantik, kini sudah tidak berbentuk. Sebagian dari pintu ada yang bolong atau malah patah. Genteng rumah juga sudah tak beraturan. Sumur di belakang rumah? Penuh dengan lumut. Sepertinya sudah lama sekali tidak ada yang mengurus rumah itu.

Jarak rumah itu, mungkin hanya dua sampai tiga meter dari jendela kamarku. Jadi, setiap kali aku membuka tirai kamarku, rumah itu menjadi pemandangan pertama yang aku lihat. Awalnya, terlihat mengerikan. Namun semakin lama, rumah itu terlihat biasa. Justru aku penasaran, siapa sih, pemilik rumah itu? Sejak kapan juga rumah itu ada? Kenapa konsep rumahnya masih jadul sekali? Ada banyak pertanyaan yang muncul di kepalaku saat melihat rumah itu.

Bau asap masih menyengat, kini baunya semakin merambat ke setiap sudut kamarku. Aku melihat ke arah luar jendela.

"Haish, kenapa ibu Ningrum gemar sekali membakar sampah di halaman rumah tua?" gumamku geram.

Mungkin ibu Ningrum merasa, rumah kosong itu sudah seperti halaman rumahnya sendiri. Padahal ia bukanlah pemilik rumah itu, malah rumahnya berada di sebrang rumahku. Enak sekali Ibu Ningrum, tinggal membakar sampah dan bau asap tidak akan sampai ke rumahnya. Sedangkan aku? Merasa tersiksa, ingin santai membaca buku di dalam kamar. Namun bau asap dari membakar sampah terus mengganggu indra penciumanku. Membuat diriku merasa mengalah, harus pergi dari kamar dan membaca buku di tempat lain.

***

Sekitar pukul setengah enam sore, saat langit sudah mau gelap. Bau asap bakar sampah sudah berkurang, aku baru selesai membaca buku di perpustakaan kecil milikku. Karena sudah menjelang malam, aku kembali masuk ke dalam kamar, ingin menutup tirai jendelaku. Saat sedang menarik tirai jendela, aku melihat ibu Ningrum.

Aku berhenti menarik tirai, mataku memperhatikan dia. Biasanya, ia kembali ke tempat membakar sampah, sambil membawa sampah yang lainnya. Tapi kali ini, ia membawa satu ember air. Susah payah ia membawa ember itu, lalu menyiram air yang ada di dalamnya ke tumpukan sampah. Api yang semula menyala, kini telah padam disiram air. Kepala ibu itu menengok ke jendela rumah yang berada di dekat halaman kosong. Raut wajah si ibu terlihat ketakutan.

Ada apa dengan ibu Ningrum? tanyaku dalam hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun