Secara teoritis, keluarga merupakan lingkungan pertama yang anak jumpai untuk dapat belajar berinteraksi seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan anak. Lingkungan keluarga menjadi sarana pembelajaran bagi anak, sebelum mereka memasuki lingkungan sekolah maupun masyarakat luas. Definisi tersebut ditegaskan kembali dengan adanya pengertian menurut Hasbullah (2009:38), yang menyatakan lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama, karena di dalam keluarga, anak mendapatkan pendidikan pertamanya. Peran orang tua dan seluruh anggota keluarga untuk menciptakan kondisi lingkungan keluarga yang sehat dan berkualitas sangat diperlukan, guna memberikan suasana aman dan nyaman bagi anak untuk menghabiskan banyak waktu bersama keluarganya. Keadaan tersebut yang tentunya dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan anak.
Namun sangat disayangkan, tidak semua lingkungan keluarga mampu menjadi tempat teraman dan ternyaman bagi anak. Pada beberapa kasus yang terjadi saat ini, marak beredarnya kekerasaan seksual yang diantaranya merupakan anggota keluarga terdekat yang menjadi pelaku. Seorang kakek, ayah, bahkan paman yang seharusnya melindungi, malah tega menjadi seorang pelaku kejahatan kekerasan seksual terhadap buah hatinya. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya berita yang dilansir oleh iNews.id, khususnya pada website probolinggo.inews.id. Berita tersebut berisi tentang pengakuan gadis Madiun yang diperkosa oleh 3 anggota keluarganya. Diawali dengan pengakuan korban, sebut saja Bunga (nama samaran) tentang bagaimana pelaku melakukan aksinya. Korban menyatakan bahwa kakek, ayah dan paman melakukan aksi bejatnya secara bergilir. Lebih parahnya lagi, korban mengaku tidak mampu melawan ataupun mengadu karena takut akan ancaman pelaku, yang dimana para pelaku memberi ancaman akan membunuh korban jika melawan bahkan mengadu. Pengakuan tersebut akan ditegaskan. (Efendi, 2023).
Kekerasan lainnya yang terjadi pada anak ialah kekerasan secara fisik dan emosional. Kedua jenis kekerasan tersebut sering kali terjadi dalam lingkungan keluarga namun masih dianggap remeh, terlebih pada kekerasan emosional. Cita-cita tumbuh dan besar dengan kasih sayang dan pelukan hangat dari keluarga harus mereka kubur dalam-dalam karena hak yang seharusnya mereka dapatkan itu berbalik dengan adanya kekerasan fisik seperti memukul, mencubit, menamparkan dan bahkan membentak keras setiap harinya. Sebagai bukti, hal memilukan tersebut harus dialami oleh seorang anak berusia 7 tahun, di daerah Malang, Jawa Timur. Sesuai dengan berita yang dilansir oleh Liputan6.com, polisi di wilayah tersebut berhasil mengungkap kasus penganiayaan pada anak dan menangkap 5 orang pelaku diantaranya ayah kandung berserta seluruh keluarga dari pihak ibu tiri. Berita tersebut ditegaskan kembali dengan informasi yang disampaikan oleh Kasat Reskrim Polresta Malang Kota Kompol Danang Yudanto, bahwa sesungguhnya motif pelaku tega melakukan kejahatan tersebut dikarenakan korban yang berusia tujuh tahun itu sering melakukan hal-hal yang tidak diinginkan pelaku, seperti mengambil makanan tanpa izin. Atas perilaku tersebut, korban terpaksa harus mengalami aksi penyiksaan seperti pemukulan, tangan dimasukkan ke dalam air panas, dipukul dengan tongkat, melukai dengan sundutan rokok, ditendang, hingga kekerasan menggunakan pisau pemotong atau cutter. ( Fahmi, 2023 )
Berdasarkan paparan kasus di atas, dapat kita sadari bahwasanya konsep lingkungan keluarga aman yang sering digaungkan oleh lembaga-lembaga serta masyarakat belum sepenuhnya sesuai dengan kenyataan yang ada di masyarakat. Lingkungan keluarga dianggap aman karena telah terjalin kepercayaan yang erat, namun kepercayaan itulah dapat menjadi salah satu faktor pendorong terjadi banyak penyimpangan termasuk kekerasan seksual, fisik dan emosional. Kepercayaan tersebut membentuk pemikiran anak bahwa mereka akan selalu aman jika berada dekat dengan anggota keluarga, yang secara kenyataanya bahkan sebaliknya. Selain itu, trauma yang mendalam akan membekas pada kehidupan sehari-hari korban. Rasa nyaman yang seharusnya tercipta di lingkungan keluarga seketika berubah menjadi rasa takut. Trauma serta ketakutan tersebut akan berdampak buruk bagi kesehatan mental anak atau korban yang seiring berjalannya waktu pun akan menghambat perkembangan anak. Selain itu, tanpa orang tua sadari, tindakan kekerasan yang setiap harinya mereka lihat dan rasakan tersebut juga membentuk pola pikir dan tingkah laku di masa depan. Terlalu mentoleransi adanya kekerasan dalam keluarga, baik kekerasan kecil pun dapat berubah menjadi contoh bagi anak bahwa hal tersebut adalah hal yang wajar terjadi. Pengaruh untuk kedepannya, dapat mendorong anak untuk melakukan kekerasan yang sama.
Segala jenis hukuman, sanksi yang telah ditetapkan oleh pihak berwenang tidak bisa menjadi penghambat bagi pelaku untuk melancarkan aksinya. Maka dari itu, apapun bentuk kekerasan tidak bisa semata-mata dapat diberantas, melainkan perlu adanya ketegasan dari pihak-pihak berwenang untuk mampu mencegah kejahatan tersebut dan memberikan ruang aman dan sehat bagi korban.
Referensi :
Efendi, A. W. (2023, Oktober 27). Retrieved from iNews Probolinggo: https://probolinggo.inews.id/read/362758/pengakuan-pilu-gadis-madiun-diperkosa-3-anggota-keluarga-kakek-siang-ayah-malam-paman-subuh
Fahmi, Y. (2023, Oktober 13). Bocah 7 Tahun di Malang Jadi Korban Kekerasan Satu Keluarga. Retrieved from Liputan6.com: https://www.liputan6.com/surabaya/read/5422238/miris-bocah-7-tahun-di-malang-jadi-korban-kekerasan-satu-keluarga-mulai-ayah-kandung-ibu-tiri-hingga-nenek-tiri?page=2
Hospital, T. M. (2023, November 23). Dampak Kekerasan pada Anak yang Tidak Boleh Diabaikan. Retrieved from siloamhospitals.com: https://www.siloamhospitals.com/informasi-siloam/artikel/dampak-kekerasan-pada-anak
Sumber Gambar IlustrasiÂ
https://id.pinterest.com/pin/782570872763130597/