Mohon tunggu...
Noel Kurniawan
Noel Kurniawan Mohon Tunggu... Lainnya - Homo sapien

Samabodi, melintas tak tertangkap.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kuota Internet HP Cepat Habis? Mungkin Anda Perlu Baca Ini

23 Agustus 2015   17:23 Diperbarui: 23 Agustus 2015   17:23 8136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini aku heran. Baru 3 hari membeli paket internet, kini sudah habis. Pantas, layar HP-ku bersih dari notifikasi media sosial. Hanya SMS dari provider yang memberitahukan bahwa kuota paket internet sudah 0 Mb, disambung promosi bla bla bla silakan membeli ulang paket yang banyak, tinggal bayar, tinggal transfer, tinggal potong sana potong sini. HmmAh, namanya juga orang jualan. Sejenak aku merasakan sensasi ketika HP-ku tidak terhubung internet: tanpa ratusan pesan di grup, tanpa e-mail kerjaan dan promosi, tanpa kiriman berita jika ada pemboman di negara entah berantah sana. Ah ....

Sebenarnya aku bukan murni digital native yang begitu lahir ceprot langsung mengenal kamera digital, fesbuk, twitter, dan tongsis. Aku lebih ke digital immigrant yang sok-sokan ikut-ikutan C-generation. Connected generation. Aku masih mengalami saat surat-suratan dengan menyelipkan gulungan kertas di bawah pintu, di buku pelajaran, atau berkirim kartu pos. Aku juga mengalami zaman keemasan wartel, kala menelepon merupakan “keajaiban” (karena saya orang ndeso kere yang tak memiliki sambungan PSTN sendiri di rumah). Disambung zaman gemilang ber-SMS-an. Tiga ratus lima puluh rupiah sekali kirim 140 karakter, dan itu harus dihemat. Rugi rasanya mengirim sms kok cuma satu kata. Dan mengenal chatting pertama kali lewat MIRC. Asl pls?

Jadi, mungkin bukan masalah jika untuk hari ini aku tidak terkoneksi dengan internet. Aku ambil napas panjang lalu berusaha memejamkan mata lagi. Namun, aku lantas bertanya-tanya. Kok pulsaku cepat habis ya?

Setahun yang lalu, jika aku membeli paket 500 Mb dengan masa aktif sebulan, pasti sisa sekian ratus Mb di akhir bulan. Pernah aku beli kuota 2 Gb, dan lamaaa sekali baru habis. Apalagi kini, beberapa jam sehari aku berada di lingkungan ber-wi fi, sehingga aku kerap memanfaatkannya untuk koneksi internet – termasuk texting – via HP. Toh cuma beberapa Mb per hari. Itulah sebabnya beberapa bulan belakangan aku lebih suka membeli “eceran”, hanya 400 Mb atau 1 Gb sekali beli. Bisa untuk 3 minggu sampai 2 bulan. Lumayan ngirit. Kemudian aku menginstal aplikasi whatsapp. Dan dalam sehari mungkin aku telah mengirim ratusan pesan. Bertelepon jadi kurang praktis. Apalagi SMS. Walaupun kini tarif SMS sudah sangat murah (bahkan kurang dari 150 rupiah/pesan), namun tetap menjadi “terlalu mahal” dibandngkan komunikasi berbasis data. Dulu sehari paling aku kirim SMS 10-20 pesan. Sekarang bisa chatting sampai jempolnya pegal. Jadi, duit yang dikeluarkam untuk membiayai HP berkurang. Yang tadinya sebulan habis ratusan ribu, jadi cukup 100 ribu. Bahkan 50 ribu pun cukup. Apalagi aku bukan orang yang suka menelepon nomor ponsel jika tidak kepepet. Selain mahal, aku sendiri merasa menelepon menghabiskan waktu. Harus diangkat saat itu juga, nggak bisa disambi, dan .. ah ... aku kadang suka bergeser mood-nya hanya demi mendengarkan suara orang yang nyelonong saat aku lagi hot-hotnya mengerjakan sesuatu. (Aku cukup rewel-lah.) Intinya, dalam beberapa tahun ini (bahkan jika mengingat sampai belasan tahun terakhir), aku cukup menikmati merasakan tarif berkomunikasi yang semakin murah.

Namun, di tengah lamunanku (thanks to new media and its supporting technology), aku kembali bertanya-tanya, “Lantas, mengapa paket internetku habis pagi ini?” Padahal baru beberapa hari lalu kupakai. Aku cek, ternyata paket 400 Mb-ku habis dalam waktu 3 hari! Sebelumnya 1 Gb habis nggak sampai seminggu. Wah ... dalam sebulan ini aku sudah beberapa kali beli paket internet tanpa sadar. Bahkan tanpa kuhitung. Karena di dalam benakku, dunia yang serba digital ini pasti memberi harga yang makin murah dan kian murah bagi koneksi internet. Trus salahnya di mana?

Aku sudah mematikan auto-update sejak berbulan-bulan lalu. GPS dan media auto-download sudah ku-disable. Aku jarang browsing, tidak pernah youtube-an, dan cuma sesekali mengunggah foto (ga sampai 200Kb) ke whatsapp. Aku ga pernah buka facebook an twitter di HP. Ah, mengapa paket dataku tetap cepat habis bak kendi bocor?

Setelah tanya sana-sini di grup, googling, dan merenung. Kini aku hanya memiliki dua tersangka. Tersangka pertama adalah bahwa ada semacam makhluk luar angkasa kecil-kecil yang merayap bergentayangan di dalam HP-ku, dan rupanya mereka sedang “mencuri sinyal” untuk menghubungi planet asalnya. Entah karena si alien kecil itu tersesat, atau mungkin sedang mengontak bala bantuan untuk menyerang bumi. Namun, kemungkinan tersebut meskipun mengasyikkan tetap saja tidak memiliki bukti awal. Tidak ada artefak dan text (seperti di riset kajian budaya).

Kini aku beralih ke tersangka kedua. Yaitu bahwasanya dalam 1-2 minggu terakhir aku menjadi anggota beberapa grup whatsapp yang ceriwis banget. Ada grup alumni SMA, ada grup “sebagian alumni SMA”, ada grup kerjaan, ada grup kampus, grup kampus yang dulu, grup sebagian kampus yang dulu, ditambah grup sementara karena mau piknik, grup sementara karena ada yang mau ulang tahun, dan sebagainya dan seterusnya. Yang diobrolin? Selamat pagi, selamat malam, selamat siang, selamat makan, guyonan, obrolan serius, obrolan ngaco, nggombal, haha hihi, curhat, kenangan masa lalu, sindir-sindiran, jegal-jegalan, kata-kata bijak, meme, sampai pertengkaran “sok serius”, “sok politis”, “sok ilmiah”, “sok agamis”, yang intinya ya Thong Thong Bolong. Dus, aku mengalami HP hang berkali-kali. Clear chat di tiap bagi cukup membantu tetapi tak dapat menjadi solusi jangka panjang. Nah, benarkan karena banyaknya grup whatsapp yang kuikuti menyebabkan kuota internetku jebol-jebol? Sayangnya aku nggak sepinter kalian yang jago IT.  Aku nggak memiliki jawaban logis dan matematis untuk hal ini. Yang kuingat adalah bahwa kuota internetku semakin boros setelah aku menjadi anggota banyak grup. Namun, semahal itukah?

Karena aku bukan orang IT, maka yang kurenungkan justru dua hal. Pertama adalah, apakah aku benar-benar membutuhkan grup-grup itu? Ah, jangan pakai kata “membutuhkan”. Aku nggak mau terjebak dalam pseudo-logika supply-demand. Apakah aku senang dengan menjadi anggota (dan beberapa di antaranya menjadi admin) grup-grup whatsapp itu? Ya, banyak manfaatnya. Menghibur, mudah berkoordinasi, dan bertemu kawan lama. Belum dua minggu lalu, aku menjadi member grup alumni yang banyak dari anggotanya tidak pernah berhubungan denganku sejak zaman Presiden Soeharto. Kini orang yang bisa kuajak ngobrol jauh lebih banyak daripada orang yang kontaknya kusimpan di phonebook. Aku senang. Terhibur. Jarang kesepian. Jika ada yang marah-marah di grup, ya aku menghindar saja. Dunia ini sudah penuh orang marah-marah, masak aku akan menambahi kemarahan di dunia hipereal kayak gini pula? Intinya, banyak faedah yang kudapatkan dari menjadi anggota grup. Apakah ini merupakan salah satu jenis aktualisasi a la Moslow?

Namun, apakah benar-benar ini yang kuinginkan? Bangun tidur, mata masih rembesen, ngecek HP dan nimbrung ngobrol ngalor ngidul. Makan sambil bawa HP. DI jalan pas lampu merah, ngecek HP. Di kantor saat kerja (bahkan sekarang ini) di samping laptop ada HP. Kayaknya ingin memasang bluetooth di dalam kepala sehingga semua pesan yang masuk langsung tertampil di retina mata dan langsung bisa dijawab hanya lewat syaraf-syaraf otak saja. Siapa lagi apa? Apa yang sedang jadi trending topic? Apakah namaku disebut? Siapa yang kangen aku? Jika sedang bepergian, batere lowbat, ah ... rasanya seperti kebelet pup saja. Dan pula, aku jadi merasa ketinggalan sesuatu dan sulit masuk di obrolan jika tidak tahu ujung pangkalnya. Kadang memang sulit ngobrol di tengah banyak orang yang semua juga ngobrol. Kayak di pasar. Dan tatkala “kehilangan jejak”, pasti ada yang bilang (mungkin sambil nyinyir) “Mbok scroll ke atas ajaaaah!” Ngecek ke atas melewati ratusan-ribuan pesan? Mungkin bisa kulakukan tiap saat – kalau aku menjadi pengangguran di kutub selatan. Selain itu semua, batere HP-ku juga jadi cepat habis. Yang tadinya sehari semalam baru ngecas, sekarang bisa 3-4 kali sehari ngecas HP. Apakah yang kudapat? Kebahagiaan?

Memang benar bahwa sebenarnya tidak semua orang di grup itu harus ditanggapai. Ya, aku nggak perlu se-lebay itulah. Begitu kataku pada diriku sendiri. Dan aku setuju. Ada sensasi – bahkan euphoria – tatkala tanpa mikrofon suara (teks) kita langsung tersebar ke puluhan orang di manapun orang itu berada. Eh, tapi ngobrol di tengah pasar malam capek juga, bukan? Andai saja aku bisa menonkatifkan beberapa di antara grup tersebut, lalu di saat senggang mengaktifkannya lagi sehingga pesan-pesan yang tertunda bermunculan ... dan aku bisa memilih untuk membaca atau tidak ... tanpa harus left group. Ah. HP-ku nggak secanggih itu. Fitur itu belum ada. Andai saja aku cukup berduit, maka aku akan menyewa sekretaris yang tugasnya membacakan dan membalaskan pesan grup whatsapp. Tapi kok kayaknya ngoyo. Mendingan duitnya ditabung. Dan aku bukan satu-satunya yang galau. Beberapa temanku merasakan hal yang sama. Ada semacam love-hate dengan grup-grup whatsapp yang menyenangkan tapi mirip grojogan sewu.

Di sini akhirnya aku memilih untuk sok selective mutism aja. Jadi mute di grup tertentu, membaca kalau senggang, dan forget it. Aku yakin, kalau ada salah satu di antara member grup itu yang bener-bener membutuhkan aku atau ingin berkomunikasi denganku, maka ia akan menghubungiku lewat japri. Kalau perlu telpon.

Nah, kedua, adalah persoalan harga. Aku masih menyoalkan mengapa paket data HP-ku begitu cepat habis. Sebenarnya yang ku-galau-kan adalah bahwasanya aku harus mengeluarkan sekian rupiah untuk membeli paket data yang baru. Jadi – memang – ini ujung-ujungnya soal duit. Padahal, jika mengingat perkembangan teknologi, ajaibnya new media, canggihnya konvergensi media lewat gadget, dan bla bla bla kemudahan jaringan internet murah, maka mestinya uang yang kukeluarkan makin sedikit. Dan memang makin sedikit, ... sampai saat paket dataku jebol. Mungkin – sekali lagi mungkin – karena aku menjadi anggota banyak grup whatsapp tadi.

Nah, di sini aku jadi seakan-akan memiliki dua buah grafik. Mari kita bayangkan sebuah grafik garis. Grafik pertama, katakanlah Grafik A, yaitu GRAFIK BIAYA BERKOMUNIKASI DENGAN 1 ORANG TERHADAP WAKTU. Grafik ini memiliki variabel WAKTU di sumbu X dan variable HARGA di sumbu Y. Nah, bisa dilihat bahwa trend-nya makin menurun. Jika duku butuh sekian ratus rupiah untuk mengirim 140 karakter pesan lewat SMS, maka kini hampir tak ada harganya. Belum lagi jika broadcast langsung ke banyak orang atau posting pesan di grup. Jadi memang, harga yang dibayarkan kian turun seiring bertambahnya waktu.

**DI SINI HARUSNYA MUNCUL GRAFIK A. DI PREVIEW MUNCUL. TAPI ENTAH KOK GA MUNCUL. MUNGKIN TEKNISI KOMPASIANA BISA MEMBANTU?**

[caption caption="Grafik A: GRAFIK BIAYA BERKOMUNIKASI DENGAN 1 ORANG TERHADAP WAKTU"][/caption]

Grafik B adalah GRAFIK JUMLAH ORANG YANG DAPAT DIJANGKAU OLEH HP KITA TERHADAP WAKTU. Grafik ini memiliki variabel WAKTU di sumbu X dan variabel JUMLAH ORANG di sumbu Y. Ternyata, dari waktu ke waktu jumlah orang yang bisa kita jangkau lewat HP kita makin banyak. Jika dulu kita hanya bisa menelepon atau SMS paling banyak 50 orang sehari, kini bisa ribuan. Bahkan ratusan ribu jika pesan kita di re-post dan menjadi viral. Jadi jumlah orang yang bisa dijangkau oleh HP kita semakin bertambah seiring dengan bertambahnya waktu.

Jadi, grafik A dan grafik B merupakan kabar bagus bagi kita semua. Perayaan atas kemajuan teknologi, globalisasi, komunikasi murah, dan akses informasi yang luas tak terbatas serta murah oleh siapa saja. Kedua grafik di atas menjadi semacam “common sense” kemudahan hidup di zaman citizen digitalship kayak ginian. Semacam begituanlah.

Nah, namun persoalan paket kuota internetku yang jebol malah seakan “diejek” oleh kedua grafik di atas. Nggak masuk ke dalam skema. Oleh karena itu aku lantas membuat Grafik C. Grafik ini menggambarkan effort alias daya-upaya yang dikeluarkan seseorang untuk menghubungi sejumlah orang. Effort ini bisa berupa rupiah, bisa keringat, bisa ongkos emosi; pokoknya apapun yang harus diupayakan orang untuk berkomunikasi. Judul grafik C ini adalah GRAFIK DAYA UPAYA UNTUK MENJANGKAU SEJUMLAH ORANG. Di sumbu X, terdapat variabel JUMLAH ORANG; sedangkan di sumbu Y terdapat variabel EFFORT (dalam persen). Nah, bayangkan di sumbu Y terdapat garis kritis, katakanlah di angka 90%. Artinya, kita nggak bisa melakukan effort sampai di atas 90%; atau jika kita paksakan maka hidup kita akan kacau: anak tidak terperhatikan, kerjaan gagal, relasi kacau, dan seterusnya. Kita namakan garis ini sebagai GARIS LIMIT. Dalam GRAFIK C, secara asal titik di mana jumlah orang yang kita jangkau mencapai GARIS LIMIT, dinamakan BREAK EVEN FAIL (ini istilahku, jangan dicontek). Gatot. Gagal Total! Mengapa harus ada GARIS LIMIT? Karena kenyataannya effort kita memiliki limit. Gampangnya, kita nggak mungkin menghabiskan semua gaji atau uang saku kita hanya untuk membeli pulsa internet, atau menukar seluruh 24 jam kita sehari untuk membaca baris demi baris pesan whatsapp (atau BBM, atau LINE, atau fesbuk, atau apapun).

[caption caption="Grafik B: GRAFIK JUMLAH ORANG YANG DAPAT DIJANGKAU OLEH HP KITA TERHADAP WAKTU"]

[/caption]Lalu, mari kita masukkan pengalaman kita menggunakan medsos ke dalam grafik C. Kalau saya nggak sok tahu (karena ini tanpa penelitian), maka akan muncul grafik yang trend-nya naik sampai menabrak GARIS LIMIT. Artinya, pengalaman euphoria kita menggunakan media sosial bagaimanapun juga akan berhadapan dengan keterbatasan: hukum alam. Jatuh bebas di “Break Even Fail”. Di sini lantas kita “diajari” untuk memilih: lebih efektif seperti 7-habit-nya Covey, atau justru menerima keterbatasan itu sebagai anugerah. Toh, siapa sih yang memburu-buru kita untuk semakin efektif tiap hari?

Ajaibnya di grafik C, kita sebenarnya memiliki kemampuan untuk mengatur di mana kita meletakkan GARIS LIMIT. Apakah akan ditaruh di angka 80% atau 50%, atau bahkan cukup 2,5% saja seperti prosentase zakat. Dan itu semua tergantung kita. Tergantung kita yang hidup bebas merdeka. Jangan mau terbujuk iklan; terbujuk iming-iming “makin eksis” tapi tenggelam dalam aktivitas (dan bukan produktivitas) yang kian sesak; ataupun terbujuk “obrolan kritis” membicarakan mahalnya dolar namun ujung-ujungnya kehabisan energi bahkan hanya untuk memberi senyuman pada orang-orang yang kita sayangi di hadapan kita.

Jadi, setelah berhalaman-halaman saya nggambleh dan melelahkan mata para pembaca yang budiman, saya sebenarnya ingin mengatakan bahwa jadilah kita sebagai pengguna smartphone dan medsos yang tidak “plendak plendek”, punya kemandirian menentukan apa yang sebenarnya diinginkan, dan mau membayar harga apa yang diinginkan secara ksatria.

[caption caption="Grafik C: GRAFIK DAYA UPAYA UNTUK MENJANGKAU SEJUMLAH ORANG"]

[/caption]Kira-kira seperti itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun