menurut Saldi Isra, sekalipun terdapat ruang bagi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) bersentuhan dalam fungsi legislasi, kata “dapat” dalam Pasal 22D Ayat (1) tersebut membuat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) tidak mempunyai kekuasaan legislatif yang efektif untuk menjadi salah satu institusi yang mengajukan rancangan undang-undang.
Pasal 22 D ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi :
“Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.”
Kata “ikut membahas” sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 22D Ayat (2) Undang Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diterjemahkan sebagai pembahasan pendahuluan sebelum rancangan undang-undang dibahas bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Presiden. Kalaupun Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) diundang, kehadiran Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) sebatas memberikan pandangan atau pendapat atas rancangan undang-undang yang termasuk dalam kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI).
Pasal 22 D ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi :
“Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.”
Sama halnya dengan pasal 22 D ayat (1) Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah dibahas sebelumnya, kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) untuk melakukan salah satu fungsi yang berkaitan dengan lembaga legislatif yaitu melakukan pengawasan terhadap jalannya sebuah UndangUndang, hanya sebatas pada tahap melakukan pengawasan tanpa bisa menindaklanjuti hasil pengawasannya.
berdasarkan pembahasan diatas, maka Kedudukan DPD RI sebagai Lembaga Perwakilan Daerah tidak menjadi permasalahan, yang menjadi permasalahannya adalah kewenangan yang diberikan oleh UUD Tahun 1945. dengan demikian tidak dapat diharapkan peran aktif DPD Ri untuk terlibat dalam menetukan regulasi terkait dengan otonomi daerah serta melakukan pengawasan.
karena menurut Jimlly Assidiqqie, Saldi Isra dan Bagirmanan, tujuan awal dibentuknya DPD RI -selain DPD RI di desain untuk mebuat check and balances dalam parlement - antara lain untuk meningkatkan peran serta daerah dalam penyelenggaraan negara. penyelenggaraan otonomi daerah dewasa ini menjadi titik perhatian yang serius dan perlu diperhatikan karena banyak memuat masalah, oleh karena itu dibutuhkan lembaga untuk menentukan arah dari otonomi daerah melalui peraturan perundang-undangan dan melakukan pengawasan terhadap peraturan perundang-undangan tersebut.
seidealnya, kedudukan dan wewenang Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dalam kaitannya dengan penyelenggaraan otonomi daerah oleh pemerintahan daerah, berkedudukan sebagai lembaga negara yang berwenang menjalankan fungsi legislatif, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.
oleh karena itu, Kedudukan Dan Wewenang Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dalam penyelenggaraan otonomi daerah disarankan berkedudukan sebagai lembaga negara yang berwenang menjalankan fungsi legislatif, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.
Konsep bicameralisme adalah pilihan agar ada keseimbangan dalam parlemen hingga konsep tersebut mesti dipraktekkan untuk menghindari dominasi satu kamar dalam parlemen. Dengan menganut konsep bicameralism, juga akan membuka peluang bagi daerah untuk lebih berpartisipasi dalam pengelolaan negara.