Mohon tunggu...
zamsul bakhri
zamsul bakhri Mohon Tunggu... Auditor - Planter

Seorang planter, menghabiskan waktu bersama matahari

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Manusia-manusia Sakit Jiwa

26 April 2019   15:15 Diperbarui: 26 April 2019   15:22 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin tulisan ini masih relevan. Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan mengikuti test potensi akademik di sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta. di dalam test tersebut ada sebuah cerita soal yang membuat saya tersenyum dan merasa disindir

Cerita tersebut, menceritakan tentang manusia-manusia "sakit jiwa" atau manusia-manusia yang "kehilangan identitas". manusia-manusia ini disebut sakit jiwa karena mereka senang dengan berbagai "kurungan". seperti burung perkutut pak camat (dalam cerita ini) yang senang berada di dalam kurungannya yang harganya lebih mahal daripada sebuah rumah RSS. manusia-manusia yang sakit jiwa ini suka pada "kurungan" gelar sarjana, jabatan, pangkat, keturunan, dan lain-lain. 

Orang-orang suka sekali memakai banyak gelar sarjana di depan maupun di belakang. misalnya, Prof. Dr. ......., S.Hut, M.Sc (misalnya..). mungkin ini hanya kebiasaan kita, orang Indonesia. karena setahu saya, orang-orang bule yang saya kenal lebih sering hanya memakai gelar Ph.D atau Dr saja jika sudah menempuh pendidikan S3. saya sendiri agak ribet kalau mengurus surat2 atau dokumen yang harus menuliskan nama seseorang yang gelarnya banyak sekali... kalau salah, harus diganti. duh, bukannya semakin boros dan merusak lingkungan karena banyaknya kertas yang harus dibuang.

oya, balik lagi tentang "kurungan", saya pikir, hal inilah yang menyebabkan munculnya politic fundamentalism. kita hidup dalam kelompok-kelompok yang hanya sepemikiran dengan kita yang "mengurung" kita. kita lebih merasa eksis dalam "kurungan" kita. namun, apabila kita keluar dari "kurungan" kita, kita merasa terancam. kadang, kita sendiri juga yang kurang kerjaan mencari-cari "kurungan" untuk mengurung diri kita. kadang supaya dibilang hebat. saya ingat dulu ketika masih mahasiswa juga begitu. supaya dibilang hebat, mahasiswa kadang suka ikut kegiatan A, kegiatan B, kegiatan C, masuk organisasi D, aktif di organisasi E, macam-macam deh.

seorang mahasiswa akan merasa hebat jika dia ikut banyak organsasi, padahal ketika dipikir-pikir, apakah saya sudah mengemban amanah dari suatu organisasi dengan baik? apakah ada suatu dampak nyata yang saya lakukan ketika saya akitf di sebuah organisasi atau lembaga? dan sekarang, mau tidak mau, kebiasaan mencari "kurungan" itu saya lihat juga masih sering dilakukan orang-orang walaupun dia sudah punya pekerjaan, termasuk saya. misalnya, seorang pembicara di sebuah seminar, di dalam biodatanya akan menuliskan bahwa dia bekerja di Perguran tinggi A, Perguruan tinggi B, Lembaga C, Lembaga D, dll padahal intinya dia adalah seorang PNS atau pengajar.

menurut penulis, seseorang yang selalu mencari-cari "kurungan" seperti itu sebenarnya belum menemukan identitas dirinya, jadi dia selalu mencari-cari ke-eksis-an diri bukan essensialnya. di dalam akhir cerita soal dalam TPA tersebut, sang penulis, menyebut seorang temannya, EAN, yang menolak ketika diajak masuk ke sebuah ormas karena EAN merasa sudah menemukan identitas dirinya.

hehehe.. kadang kita harus menertawakan diri sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun