Dari begitu banyak informasi yang berseliweran sepanjang hari Selasa, 27 Juli 2010, dua diantaranya cukup menarik perhatian saya. Kabar pertama soal pencanangan bebas pemadaman bergilir. Kedua, fatwa MUI mengharamkan infotainment.
Soal listrik memang menjadi sorotan banyak pihak sejak lama. Pemicunya, selain karena sering naik tarif, juga lantaran aliran strum kerap byar pet. PLN berusaha mengobati keluhan konsumennya, dengan janji menggratiskan pembayaran pemakai listrik di bawah 900 watt, dan bertekad manghentikan pemadaman bergilir.
Percayalah, makna “gratis” di benak pemerintah dan petinggi PLN tak sama dengan “cuma-cuma”. Mana mungkin sebuah perusahaan (meskipun diembel-embeli “Negara”) tak memperhitungkan profit, atau paling tidak titik impas dari setiap kebijakan operasionalnya. Kalau hal itu diabaikan, BUMN yang sering dikabarkan merugi itu akan lebih cepat bangkrut.
Mem-versus-kan kenaikan tarif listrik dengan rencana menggratiskan pembayaran kepada pemakai watt rendah, patut dicurigai sebagai akal-akalan untuk meredam kegelisahan masyarakat, yang bakal hidup lebih susah di tengah menggilanya harga kebutuhan pokok sehari-hari. Kita mungkin baru menyadari tipu daya itu, bila suatu ketika PLN mendadak hanya melayani pemasang baru dengan daya 1300 watt lebih, seraya berangsur-angsur mewajibkan konsumen 450 watt dan 900 watt beralih ke daya di atas 1300 watt. Tentu saja tarif dasarnya lebih mahal dari dua kelas daya golongan wong cilik itu. Sekaligus pula menghentikan konsumen dari status pengguna gratis.
Soal janji tidak terjadi lagi pemadaman bergilir lebih gampang lagi dalihnya. Sebab, pemadaman bergilir tidak sama dengan byar pet. Kalau suatu hari aliran listrik ke tempat tinggal Anda mendadak putus, tak perlu bingung bila Petugas operator di kantor jaga PLN berdalih, pemadaman tersebut karena gangguan teknis, bukan pemadaman bergilir. Masih untung mendapat penjelasan, ketimbang kebingungan dalam kegelapan gara-gara sang operator menggantung telepon, seperti yang dilakukan selama ini.
Jadi, soal kenaikan tariff listrik, gratis bayar listrik, dan tak ada pemadaman, anggap saja sekedar informasi, seperti kabar-labar lain yang selama ini berseliweran. Tak perlu berharap, tak perlu mengeluh. Kita tonton saja lakon apa lagi yang akan dipertontonkan pemerintah kepada masyarakat untuk menciptakan kondisi kondusif meski sesaat.
Begitu pula soal Fatma MUI mengharamkan infotainment. Tak perlu ditanggapi serius. Paling hanya akan heboh satu dua hari, seperti saat meluncur fatwa-fatwa lain sebelumnya: rokok haram, arah kiblat, dst..
Menurut saya, fatwa tersebut sekedar pemenuhan syarat dari bagian tugas MUI sebagai lembaga yang memang satu diantaranya membuat fatwa. Jadi kalau MUI terlalu lama tak membuat fatwa, apa kata dunia?
Tak perlu berharap banyak efektifitas dari fatwa-fatwa tersebut. Buktinya, fatwa rokok haram tak serta merta membebaskan udara dari asap bakaran daun tembakau kering itu. Saya juga yakin, fatwa infotainment haram tak akan menghentikan publikasi informasi seputar selebriti plus bumbu gosipnya.
Saya yakin, masyarakat lebih cerdas mengarifi makna haram atas segala sesuatu, tanpa perlu tergantung fatwa MUI. Sebab, masing-masing orang punya sandaran hukum lain lebih tinggi untuk meyakini sesuatu sebagai barang atau perbuatan haram. Meski pun kita juga sama-sama tahu, selama ini toh tetap banyak orang yang mengonsumsi barang haram menurut ajaran Islam, misalnya minuman keras, karena memang pemerintah juga tak punya daya untuk menutup pabrik-pabrik pembuat barang haram tersebut. Yang lebih parah kalau para petinggi negeri yang mestinya menjadi panutan rakyat, malah ramai-ramai melakukan perbuatan yang jelas-jelas haram, misalnya korupsi.(***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H