Mohon tunggu...
Zamroni Abidin
Zamroni Abidin Mohon Tunggu... -

biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Keluyuran Vol III (Tragedi)

24 Agustus 2014   22:19 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:41 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menginjak kelas 3 Tsanawiyah (SMP), intensitas keluyuranku surut. Penyebabnya, ayah mendapat memo dari guru wali kelasku. Memo itu ditulis dalam buku raport sekolah. Isinya, " Anak ini sebenarnya pandai tp sayang sering tidak masuk sekolah karna bepergian". Ayah memakluminya namun aku dongkol karenanya.

Menginjak kelas satu aliyah (SMA), nafas kebebasan itu mulai menyala lagi. Tak tanggung2 aku tawarkan diri ke Jogya bila ada orderan disana. Aku berani menyodorkan diri karna sewaktu wisata sekolah saat kelas 2 tsanawiyah aku mendapati relasi dagang ayah ada di kota gudeg itu, tepatnya di kotagede. aku tahu sebab sering membaca daftar pelanggan ayah yg di tulis di karton dan di tempel di tembok dekat meja makan. Sambil makan kerap kupelototi daftar nama2 toko lengkap dg alamatnya.

Ayah setuju. Jadilah Goes to Jogya it begin. Seperti biasa, rute perjalanan dipaparkan. Kendaraan yg di pilih adl sepur alias kereta api. Berangkat ba'dah subuh dari rumah, sampai stasiun semut pukul 7 pagi. Jam 8 kereta berangkat. Sekitar jam satu siang sampai di stssiun tugu jogya.

Layaknya anak2, sopan sekali aku waktu itu. Dengan sedikit takut2 ku tawarkan barang dagangan dg memperkenalkan diri sebelumnya. Meski sama2 orang jawa, namun kendala bahasa jawa timuran dan jawa tengahan jelas berbeda. Aku yg tidak terdidik memakai bahasa jawa kromo jelas makin kikuk dalam komunikasinya. Agar tidak terkesan nyelutak dan ngelamak, aku tawarkan pada mbak ismu,-salahsatu- pegawai toko itu agar komunikasi di lakukan menggunakan bahasa indonesia. Wes beres.... Gitu aja kok repot. Hehe....

Sukses pertama ini jelas membuat ayah bangga, terlebih diriku. Aku makin pede dan makin berani mengkapling jatah setor ke jogja. Maka untuk selanjutnya, opsi naik kendaraan bisa ku tentukan sendiri. Aku tidak mau lagi naik sepur. Alasannya, selain jamnya sudah ditentukan, pemandangannya monoton. Belum lagi berangkatnya harus subuh-subuh. Ngantuk.

Pilihannya adalah naik bis yg merupakan kendaraan favoritku. Sumber Kencono dan tiga serangkai, EKA, MIRA dan ITA. Ke empat bis inilah yg biasa kunaiki setiap kali ke jogya. Dari keempatnya, bis mira lah yg paling kusukai. Selain bentuknya gagah, warna bis itu sangat mecing. Tempat duduknya juga agak lebar dg landasan lebih panjang. Jadi ketika di duduki terasa nyaman dan bokong tidak cepat panas karna tumpuan duduk tidak melulu di pantat melainkan melebar hingga paha. (Detil yo..?? Saking tuwuke...)

Semula tarif yg ditarik oleh kondektur kepadaku sebesar 7500 (bungur-solo) tp lama2 aku tahu ada kartu langganan yg bisa memberikan diskon hingga 30% sekali jalan. Segera ku cari tahu cara mendapatkan kartu langganan tersebut. Ternyata sangat mudah. Cukup meminta pada si kondektur tanpa persyaratan apapun.

Karna sudah sering ke jogya, maka bakat alamiah ku muncul. Keluyuran dan kelomproan. Ikon2 jogya tak luput dari sasaran kunjungan. Jika kurang puas aku akan menginap. Karna tidak ingin mengambil uang dagangan terpaksa nginepnya di masjid alon-alon kidul. Tidak takut dg barang dagangannya ??? Itulah istimewanya diriku. Sejak awal aku pede dg penampilanku. Penampilan yg sama sekali tidak mencerminkan anak orang berada. Malah lebih mirip anak yg kabur dari rumah. Hehe....

Sepandai2 tupai lompat pasti akan jatuh juga. Pepatah itu agaknya menimpa juga pada diriku. Setelah sekian kali Gresik-Jogya PP, dalam perjalanan pulang aku kecopetan. Uang dagangan sebesar 2 juta raib dari saku celana jean ku. Aku mengetahuinya setelah perjalanan sudah sampai di sepanjang sidoarjo. Lelap di dalam bis agaknya membuat pencopet itu leluasa menyobek saku celanaku. Tampak sobekannya membentuk huruf L.

Sampai di bungurasih aku hanya tertegun. Tidak menjerit juga tidak menangis. Buat apa ? Kata batinku. Toh sudah kejadian. Mau melapor? Lapor kemana? Paling2 dinasehati, tidak ada jaminan uang kembali. Malu2in.

Aku putuskan pulang terus ke gresik. Untung masih ada sisa uang disaku lain. Dalam perjalanan pulang ini aku berpikir keras. Membayangkan betapa sedihnya ibukku. Bukan tanpa alasan, beberapa bulan sebelumnya, ayah mengalami hal serupa dalam perjalanannya ke Bali. Bahkan musibah ayah ini jauh lebih parah. Seluruh isi tas dagangannya disikat garong menyisakan 2 gelas air minuman sebagai gantinya. Ibuk yg di ceritai ayah menangis sejadinya. Wajar ibuk menangis dan sedih karna itu adalah harta yg ada, dan kini lenyap tak tersisa.

Aku menyaksikan itu semua. Aku ikut hanyut dalam rona duka yg menyelimuti ibuk. Sempat juga rasa mangkel dan menyalahkan ayah. Karna pikirku pengalaman tahunan kok bisa kecolongan. Ternyata musibah itu kini menimpah pada diriku.

Aku tak kuat jika harus menyaksikan ibuk menangis seperti itu lagi. Tangisan yg menyayat sebagai wujud tanggung jawab seorang ibu akan kelansungan keluarganya. Uang itu adalah yg tersisa dari roda ekonomi keluarga.

Subuh dinihari aku telah sampai di perempatan kebomas. Jarak yg tinggal 2 kilo dari rumah. Berat rasanya kaki ini melangkah. Tapi bayangan wajah ibuk menguatkan otot2 kakiku untuk melangkah. Terpaksa, tiada jalan lain. Aku harus mendapatkan uang 2 jt itu sebelum tiba dirumah.

Pikiranku jatuh pada 2 orang sohibku. Ya... Aku harus minta tolong pada dua orang yg kebetulan punya nama yg sama. Maka subuh itu ku percepat langkahku menuju rumah sohibku yg pertama. Ku sampaikan musibah yg terjadi. Alhamdulillah ia empati. Ia sarankan aku untuk menemui sohib yg kedua. Dia siap nalangi sisanya berapapun yg di berikan sohib kedua. 700 ribu berupa giro sudah ditanganku hasil hutangan sohib ke dua. Lantas bagaimana? Giro itu baru bisa cair sebulan kemudian, sementara butuhnya sekarang. Pikiran saya jatuh pada paman, adik ibuk. Kembali aku harus bergerak cepat, untung paman sangat pengertian, ia langsung mengganti giro itu dg uang cash. Setelah itu aku kembali pada sohib pertama untuk meminta sisanya. Alhamdulillah....beres.

Dhuhur aku sampai rumah. Sebelum seisi rumah tahu jejak yg kutinggalkan, cepat2 ku copot celana dan ku bakar didepan rumah. Nenek yg tahu aku bakar celana lansung bertanya," opok'o kok di obong, Din?"
" Ngilangno sial..." jawabku singkat. (Bersambung...)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun