Aku menyaksikan itu semua. Aku ikut hanyut dalam rona duka yg menyelimuti ibuk. Sempat juga rasa mangkel dan menyalahkan ayah. Karna pikirku pengalaman tahunan kok bisa kecolongan. Ternyata musibah itu kini menimpah pada diriku.
Aku tak kuat jika harus menyaksikan ibuk menangis seperti itu lagi. Tangisan yg menyayat sebagai wujud tanggung jawab seorang ibu akan kelansungan keluarganya. Uang itu adalah yg tersisa dari roda ekonomi keluarga.
Subuh dinihari aku telah sampai di perempatan kebomas. Jarak yg tinggal 2 kilo dari rumah. Berat rasanya kaki ini melangkah. Tapi bayangan wajah ibuk menguatkan otot2 kakiku untuk melangkah. Terpaksa, tiada jalan lain. Aku harus mendapatkan uang 2 jt itu sebelum tiba dirumah.
Pikiranku jatuh pada 2 orang sohibku. Ya... Aku harus minta tolong pada dua orang yg kebetulan punya nama yg sama. Maka subuh itu ku percepat langkahku menuju rumah sohibku yg pertama. Ku sampaikan musibah yg terjadi. Alhamdulillah ia empati. Ia sarankan aku untuk menemui sohib yg kedua. Dia siap nalangi sisanya berapapun yg di berikan sohib kedua. 700 ribu berupa giro sudah ditanganku hasil hutangan sohib ke dua. Lantas bagaimana? Giro itu baru bisa cair sebulan kemudian, sementara butuhnya sekarang. Pikiran saya jatuh pada paman, adik ibuk. Kembali aku harus bergerak cepat, untung paman sangat pengertian, ia langsung mengganti giro itu dg uang cash. Setelah itu aku kembali pada sohib pertama untuk meminta sisanya. Alhamdulillah....beres.
Dhuhur aku sampai rumah. Sebelum seisi rumah tahu jejak yg kutinggalkan, cepat2 ku copot celana dan ku bakar didepan rumah. Nenek yg tahu aku bakar celana lansung bertanya," opok'o kok di obong, Din?"
" Ngilangno sial..." jawabku singkat. (Bersambung...)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H