Mohon tunggu...
Zamroni Abidin
Zamroni Abidin Mohon Tunggu... -

biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Keluyuran Vol IV (Minggat)

19 September 2014   02:37 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:17 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PHK yang dilakukan Surabaya Post itu membuatku sedih. Harapan menjadi wartawan handal yang ditugaskan ke berbagai Negara pupus sudah. Waktu itu aku berkeinginan mendapat kesempatan dikirim ke Negara yang sedang terjadi konflik. Meliput berita peperangan. Sukur2 ada peluru nyasar yang nyerempet anggota tubuhku yang tidak berbahaya. Lumayanlah bisa dibuat kenang2an setibanya di rumah.

Tapi ya.. itu tadi. Semuanya hancur berantakan. Kuliah yang sempat terhenti-karna cuti kerja- malas kulanjutkan. Dunia kewartawanan, yg menjadi alasan utama kuliah agaknya telah menyerap habis energiku. Meski hanya seumur jagung menjadi wartawan bagiku sudah cukup. Sejak awal aku memang berkeinginan menjadi wartawan semasa masih lajang saja. Penyebabnya,dunia jurnalistik yang menuntut kerja 24 jam jelas tidak bisa kupenuhi bila sudah berumahtangga.

Kondisi ini memaksa aku kembali pada habitat semula. Menjadi tukang pembuat perhiasan emas. Sebuah profesi yang dijalani kebanyakan orang di desaku. Pekerjaan sebagai pengrajin emas ini juga terbukti telah memberikan kehidupan yang layak jauh dari kekurangan bagi masyarakat sekitar. Namun pekerjaan ini bagiku sangat membosankan. Yang dihadapi hanya itu2 saja. Jauh dari hiruk pikuk dunia luar. Aku berontak. Aku ingin keluaaarrr.

Tekadku sudah bulat. Aku harus ke Jakarta. Ke tempat siapa? Siapa lagi kalu bukan ke KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Di sana aku akan ngenger. Dijadikan apapun aku pasrah. Sosok ini begitu menghunjam di hatiku. Menempati peringkat teratas tokoh idola negeri ini disamping Emha Ainun Najib dan Iwan Fals.

Berbekal info alamat gus dur, aku berangkat. Uang sangu dapat sumbangan dari 2 sohib setiaku (baca: keluyuran vol III). Ibuk hanya menahan pilu. Matanya berkaca2 namun tak kuasa menahan. Anak andalannya bakal lepas dari pelukannya menjemput takdir yang tak pasti. Sementara ayah lebih rasional. Ia hanya berujar, “biarkan saja. Kalau nanti susah lak kembali”.

Singkat cerita aku sampai di ciganjur. Ku istirahatkan tubuh ini di al munawarrah. Sebuah masjid yang berada tepat didepan rumah gus dur. Sore itu tampak lalu lalang para pengunjung. Terus silih berganti. Beberapa wartawan baik cetak maupun elektronik juga terlihat hilir mudik. Maklumlah kala itu gus dur adalah tokoh sentral. Pasca lengsernya pak harto, suhu politik dalam negeri ternyata masih membara. Terjadi adu kekuatan antar dua kubu besar. Satu kubu bersikeras akan menolak pidato pertanggungjawaban Habibie sebagai presiden, kubu lainnya mati2an menolak Megawati selaku calon presiden. Peranan gus dur saat itu sangat vital. Gus dur diharapkan mampu menjadi penengah diantara dua kekuatan raksasa.

Aku tidak berani masuk ke rumah juga karena tidak ada kesempatan. Terpaksa malam itu aku harus bermalam di masjid al munawarrah. Keesokan harinya, pemandangan yang kusaksikan tetap sama. Sekitar pukul 7 pagi datang satu rombongan.

Pertama kali yang terlihat adalah Alwi Shihab (kelak menlu di cabinet gus dur). Di susul La Rose, seorang wanita cantik, yang dikenal sebagai novelis. Kemudian Agus Miftah, seorang yang saat itu di cap sebagai petualang politik. (ohya… gimana kabarnya orang ini? Kok gak muncul lagi?). lalu seseorang dengan perawakan keras, Daeng Rahman, namanya sempat melejit lantaran memelihara buaya di rumahnya. Serta beberapa orang yang wajahnya tidak ku kenal.

Aku beranikan diri ikut larut masuk dalam rombongan tersebut. Didalam rumah, sudah duduk “lakone”. Dibelakangnya berdiri Zastrow al ngatawi, pembantu sekaligus aspri gus dur. Di samping Zastrow berdiri Said Agil Siradj. Waktu itu –kalau tidak salah- beliau masih menjabat sebagai katib syuriah PBNU.

Hamper satu jam pertemuan itu berlangsung. Sepertinya tidak ada pembicaraan yang serius, apalagi bersifat rahasia. Ini terlihat dari suasana pertemuan yang berjalan cair. Hadirin banyak senyum dan tertawa. Gus dur sendiri lebih banyak diam. Hanya jemarinya yang aktif bergerak mengetuk-ketuk lututnya.

Ketika rombongan tamu pamit pulang, tinggallah gus dur seorang diri. Kesempatan ini tidak ku sia2kan. Kuhampiri beliau. Tak lupa kucium tangannya sebelum duduk di sebelahnya. Dengan mendekatkan wajah, ku utarakan maksud kedatanganku. Beliau hanya menanyakan asal daerahku selanjutnya menyuruhku pulang. “kamu lebih dibutuhkan disana” katanya dengan gaya yang khas.

Masygul hatiku. Jauh2 dari gresik baru sehari sudah disuruh pulang. Tapi toh kuturuti saja. Pagi itu aku cabut dari ciganjur. Pulang?  TIDAK. Aku mampir dulu ke RCTI menemui direkturnya, Rally Siregar. Sewaktu menjadi tamu di pengajian Padang Mbulan nya Cak Nun di menturo, Jombang, kami sempat bercakap2. Diakhir percakapan itu Rally memberikan kartu namanya kepadaku. Dan kartu nama itulah yang kujadikan modal untuk menemuinya.

Di lobby tv swasta itu aku tanyakan keberadaan direktur pada petugas humas. Jawaban petugas humas ini sungguh “melegakan”. Katanya, pak bos lagi keluar kota. Beberapa hari kemudian baru tiba di Jakarta.

Pas benar. Tiada lagi alasan bagiku berlama2 tinggal di Jakarta. Hari itu juga aku pulang kampong. Dah….

Setelah kunjungan ke Jakarta itu, beberapa peristiwa terjadi. Seminggu setelah kepulanganku, nenek meninggal dunia. Sepertinya penolakan gus dur terhadap diriku waktu itu memberikan makna agar aku “menangi” kepergian nenek untuk selamanya. Beberapa hari sesudahnya aku bermimpi gus dur memberikan sebutir jagung kepadaku. Setengah bulan kemudian, tepatnya di bulan ramadhan, gus dur menggelar Open House di rumahnya. Kemudian setelah itu secara aklamasi gus dur terpilih sebagai presiden RI menggantikan Habibie. Coba kalau saat itu aku tidak berkunjung kesana, belum tentu gus dur akan terpilih sebagai presiden (Ups… maaf, kalimat terakhir ini mohon jangan dimasukin hati. Anggap saja tidak ada. Hehe….)

BERSAMBUNG…..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun