Harus disadari pula, kebijakan menaikkan cukai dan pajak rokok, menjadi tidak sangat tidak strategis dan tidak tepat diberlakukan di Indonesia, karena dampaknya yang luar biasa besar. Jika kemudian pabrikan tutup, misalnya, maka gejolak dan konflik horisontal bisa saja muncul, karena para buruh terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Penyusutan jumlah tenaga kerja industri rokok ini, terjadi bersamaan dengan penyusutan jumlah pabrikan yang ada. Tidak sedikit jumlah pekerja yang harus dirumahkan, akibat tidak mampu lagi berproduksi yang salah satunya diakibatkan oleh tingginya cukai dan pajak rokok.
Dalam lima tahun, 2009-2014, tercatat 107.500 tenaga kerja (buruh) terkena PHK. Tahun 2009, PHK dialami oleh 41.875 tenaga kerja, tahun berikutnya (2010) sebanyak 15.625 juga dirumahkan, tahun 2011 sebanyak 1.500 tenaga kerja di PHK, 2012 (38.500 tenaga kerja), 2013 (5.000 tenaga kerja), dan tahun 2014 jumlah tenaga kerja yang terkena PHK sama dengan tahun sebelumnya, yakni 5.000 tenaga kerja.
Jika kemudian diputukan, kenaikan tarif cukai harus menghindarkan adanya gap harga nominal tarif antargolongan/layer dan antarjenis rokok (SKM/SKT/SPM) agar tidak terlalu dekat, karena akan mengakibatkan persaingan tidak sehat. Kebijakan kenaikan cukai juga harus proporsional, sehingga dapat menjaga pertumbuhan industri dan menahan laju rokok ilegal. (*)
Zamhuri, Peneliti Pusat Kretek Indonesia (Puskindo) Univeritas Muria Kudus