Anehnya, Halili dari SPN justru mengatakan, asalkan Gubernur mau merevisi Pergub 196/2010, maka pemogokan tanggal 3 Desember akan dibatalkan, sementara besarnya angka revisi, menurut Halili adalah hak preogatif Gubernur (artinya bisa saja tidak sesuai dengan kehendak buruh yakni Rp 1.401.829)
Setelah pertemuan dengan Asisten itu, Forum Buruh DKI membuat pertemuan informal di halaman kantor Gubernur, untuk mendiskusikan langkah selanjutanya, dan dalam pertemuan informal inilah baru secara langsung ketahuan dari beberapa pimpinan-pimpinan serikat buruh seperti SPSI LEM, ASPEK, SPN bahwa mereka pada tanggal 3 Desember 2010, tidak akan melakukan mogok seperti yang telah diputuskan sebelumnya, bahkan sempat terlontar dari mereka, untuk tidak melakukan aksi apapun.
Setelah didesak oleh PPBI dan SBTPI bahwa rencana mogok kawasan tanggal 3 Desember, sudah diketahui secara luas oleh massa buruh di KBN, terutama karena selebaran seruan mogok telah terbagi, baik melalui pintu depan maupun pintu belakang KBN, dan setelah pemogokan KBN pertama, sangat banyak kawan-kawan buruh yang menanyakan kepastian pemogokan selanjutnya, yang itu menunjukan telah terjadi peningkatkan atmosfir perlawanan buruh di KBN Cakung, dan siap untuk melakukan pemogokan lagi, barulah SPN berubah sikap dan mengatakan untuk tetap melakukan aksi, tapi tidak perlu banyak, hanya perwakilan, dan itupun konsepnya hanya sekedar bagi-bagi selebaran saja.
Sementara SPSI LEM dengan alasan tidak mendapatkan dukungan penuh struktur organisasinya, akhirnya tidak bisa terlibat –menurut SPSI LEM, ruang dialog dengan Gubernur DKI telah terbuka luas, sehingga tidak seharusnya ada pemogokan.--ASPEK Indonesia pun tidak bisa, karena kawan-kawan lebih siap ketika rencana aksinya tanggal 2 Desember 2010, bukan tanggal 3 Desember 2010 (padahal ASPEK Indonesia, termasuk yang melakukan kesepakatan dengan Polda Metro Jaya untuk memundurkan aksinya menjadi tanggal 3 Desember). FSPMI yang tidak menyampaikan pandangan, namun tugas untuk menyediakan sound sistem (mobil komando) tidak dijalankan, dengan alasan soundnya akan digunakan pihak lain (padahal s ebelumnya, sound sistem dikatakan siap dipake). FSBI tidak hadir dalam diskusi ini, karena langsung pulang. Sementara perwakilan dari SBSI 92, mengatakan hanya akan mengirimkan perwakilan saja per PUK.
Karena malam harinya ada kelanjutan rapat Forum Buruh DKI di secretariat SBSI 92 Jakarta Utara—yang merupakan kesepakatan pada rapat di LBH tanggal 1 Desember 2010--maka diskusi diatas tidak diperpanjang, dan akan dibahas dalam rapat. Dalam rapat di SBSI 92, yang hadir hanyalah perwakilan SPN, SBSI 92, SBTPI, PPBI dan SP KOJA. Sekali lagi di rapat ini, tema yang dibahas juga sama, yakni mengenai kepastian aksi pemogokan tanggal 3 desember, dan seperti pada posisi sebelumnya, mayoritas serikat tetap hanya akan mengirimkan perwakilan walaupun sependapat dengan pandangan PPBI dan SBTPI bahwa massa buruh di KBN Cakung masih dalam kesadaran yang siap mogok total.
Akhirnya keputusan yang diambil hanya menegaskan tentang titik kumpul, yaitu PPBI dan SBTPI di pintu belakang, sementara SBSI 92 dan SPN berkumpul di dekat PT Megasari, dan nantinya disatukan di Megasari, dan rencana aksi lainnya tergantung situasi lapangan yang berkembang, dan sudah disampaikan oleh PPBI dan SBTPI bahwa sangat mungkin terjadi pemogokan massal lagi—berdasarkan atmosfir massa yang masih tinggi untuk melakukan pemogokan.
Keesokan harinya, ditengah guyuran hujan deras, sebagian anggota dan pengurus FBLP-PPBI (dengan dukungan organisasi mahasiswa “PEMBEBASAN” dan organisasi perempuan “PEREMPUAN MAHARDHIKA” serta dukungan dari PPRM) memulai aksi di pintu belakang KBN Cakung. Hanya dengan menggunakan megaphone serta beberapa kawan lainnya membawa poster dan umbul-umbul, mimbar bebas dimulai dengan orasi-orasi yang menjelaskan bahwa hingga hari ini, Gubernur DKI Jakarta belum mau menaikan UMP tahun 2011 menjadi Rp 1.401.829 sehingga perlawanan harus terus dilakukan. Orator lainnya menyampaikan bahwa dengan upah 1, 4 jutapun, sebenarnya masih jauh dari layak, sehingga kaum buruh harus melakukan pemogokan lagi. Silih berganti orasi demi orasi dilakukan untuk mengajak kawan buruh yang bergegas menuju pabrik masing-masing agar bergabung.
Awalnya, kawan-kawan buruh ini tidak mau bergabung, dan bahkan mempercepat langkah kakinya menuju tempat kerjanya, hanya ada satu-dua buruh yang bergabung. Kemudian diputuskan agar mimbar bebasnya dipindahkan ke dalam kawasan, setelah melihat ada kumpulan massa buruh yang bergerombol dan tidak masuk kerja, dan setelah mimbar bebas dimulai di dalam kawasan, yang bergabung semakin banyak, dan menjadi lebih banyak lagi setelah buruh-buruh PT Megasari keluar semua dari pabrik dan menyatukan diri dengan FBLP-PPBI. Ini adalah hal yang luar biasa, karena di PT Megasari sebagian besar buruhnya telah berserikat di dalam Serikat Pekerja Nasional (SPN), yang secara struktur pimpinan (dari atas sampai pimpinan unit kerja) tidak lagi mendukung perlawanan total untuk kenaikan UMP 2011 menjadi Rp 1.401.829.
Bahkan dengan struktur PUK SPN di PT Megasari malah melarang anggotanya untuk terlibat, termasuk lascar-laskar SPN yang terus melarang buruh-buruh PT Megasari untuk bergabung dalam aksi yang diorganisir oleh FBLP-PPBI, namun larangan struktur PUK itu tidak berarti banyak, karena buruh-buruhnya terus saja berdatangan dan semakin banyak, bahkan ada bebrapa buruh yang secara berani melawan larangan-larangan struktur PUK SPN maupun struktur cabang SPN.
Massa kini telah menjadi ribuan (PT Megasari memperkejakan kurang lebih 2000 buruh), dan menajadi bertambah banyak lagi ketika kawan-kawan buruh dari PT Hansol—pabrik yang bersebelahan dengan PT Megasari—juga keluar semua dan bergabung dalam barisan massa aksi, dan selanjutnya terus bertambah.
Namun tidak semua pabrik, buruh-buruhnya dengan mudah bisa bergabung, di banyak pabrik, buruh-buruh yang mau bergabung dihalang-halangi oleg managemen, oleh satpam, bahkan banyak yang dihalang-halangi oleh pengurus serikatnya sendiri, sehingga kawan-kawan buruh ini mengirimkan sms ke kawan-kawan yang ikut aksi agar menjemput ke pabrik tempat mereka bekerja.