Ketika kita membicarakan tentang zuhud apa yang terlintas di pikiran kita? Orang miskin? Orang yang tidak pernah makan makanan lezat? Atau bahkan orang yang tidak kenal kekayaan sama sekali? Kemungkinan jawaban besarnya adalah "iya". Inilah pemahaman umum kebanyakan kita tentang zuhud.
Jika pemahaman kita tentang zuhud hanya sebatas tentang orang yang perekomiannya rendah (miskin) , kudet (kurang update) tentang kekayaan dan sebagainya, maka terlalu mudah untuk mengklarifikasi dimana saja orang zuhud berada.Â
Tinggal kita cek data orang miskin yang ada di suatu negara. Dan dibuatlah suatu kesimpulan bahwa dimana ada negara yang tingkat kemiskinannya paling tinggi, maka disitulah negara ter-zuhud di dunia.
Selain itu, pemahaman ini membawa kita pada kesimpulan yang lumayan ngawur. Kita akan mengatakan bahwa tidak ada orang kaya yang zuhud. Pengusaha sukses mustahil menjadi seorang Zahid (orang zuhud). Bahkan sampai Kiai yang punya pondok pesantren luas dan megah dengan jubah mahal, parfum bermerek dan mobil Alphard, kita klaim mereka bukanlah seorang Zahid.
Sebenarnya pemahaman tersebut berangkat dari ketidakpahaman kita tentang zuhud itu sendiri. Secara bahasa, zuhud berarti meninggalkan. Sedangkan secara istilah, dalam ilmu tasawuf zuhud adalah suatu tingkatan di mana seseorang membenci dunia atau meninggalkan kesenangan dunia dan lebih memilih akhirat.
Bukan tanpa dasar, orang zuhud sudah pasti mempunyai dasar dalam menempuh jalan zuhud. Dalam hadits riwayat Ibnu Majah disebutkan bahwa suatu hari nabi Muhammad SAW didatangi seorang dan berkata, " Ya Rasulullah, tunjukkan kepadaku tunjukkanlah padaku suatu amalan yang apabila aku melakukannya, maka Allah akan mencintaiku dan begitu pula manusia." Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Zuhud lah pada dunia, Allah akan mencintaimu. Zuhud lah pada apa yang ada di sisi manusia, manusia pun akan mencintaimu. "
Menurut imam Ahmad, ada beberapa tingkatan dalam zuhud :
1. Zuhud Al-Awwam
2. Zuhud Al-Khawwas
3. Zuhud Al-'Arifin
Zuhud Al-Awwam adalah zuhudnya setiap orang Islam pada umumnya dalam meninggalkan sesuatu yang haram. Muslim dilarang makan babi, maka ia wajib zuhud terhadap (meninggalkan) makan babi. Muslim dilarang mengambil hak orang lain, maka ia wajib untuk zuhud terhadap hak tersebut, seperti mencuri, korupsi dan sebagainya.
Sedangkan Zuhud Al-Khawas adalah zuhudnya orang Muhaqqiqin. Muhaqqiqin adalah adalah mereka yang meyakini dan menyatakan sesuatu karena dirinya memang tahu dan menyaksikan secara langsung.Â
Zuhud di tingkat ini adalah dengan cara zuhud terhadap sesuatu yang halal. Namun, bukan berarti menghalalkan yang haram, hanya saja tidak berlebihan terhadap rezeki halal yang diberikan Allah.
Orang yang zuhudnya ada pada tingkatan ini, ia akan bersyukur setiap sesuatu kenikmatan dan bersabar atas musibah yang berasal daria Allah. Karena mereka tahu kehendak Allah dan akan kembali kepada Allah (innalillahi wa inna ilaihi rajiun). Karena mereka tahu bahwa urusan akhirat disisi Allah lebih mulia daripada urusan dunia.Â
Analogi sederhana yang bisa dipakai adalah ibarat orang yang tahu bahwa 100 juta lebih besar nilainya daripada 100 ribu, maka ia memilih yang 100 juta.
Zuhud Al-'Arifin adalah zuhudnya para nabi dan para wali. Zahid yang berada pada tingkatan ini, mereka akan sibuk mendekatkan diri kepada Allah. Tapi bukan berarti mereka yang selalu ada di masjid tanpa bekerja.Â
Tapi semua yang ada di dunia, mereka dedikasikan untuk kepentingan akhirat (Addunya mazra'atul akhirah). Dan pada tingkatan ini mereka juga benar-benar tidak menganggap dunia sangat penting, bahkan lebih mengarah pada dunia adalah tipuan (Wamal hayatuddunya illa mataku ghurur).
Analogi yang bisa dipakai adalah ibarat orang tahu dan mengerti perbedaan emas dan tanah. Mereka juga tahu yang bisa digunakan sebagai alat tukar adalah emas. Meskipun emas digali dalam tanah, ia tidak akan mengambil tanahnya, tetapi emasnya. Untuk lebih memurnikan emas yang didapat dari penggalian, mereka akan membersihakan tanah yang ada di bagian tertentu dari emas.
Oleh karena itu, kekayaan dan kemiskinan bukan menjadi tolok ukur zuhud atau tidaknya seseorang. Yang terpenting tujuan utamanya adalah untuk kepentingan akhirat. Dan mustahil jika tujuannya akhirat tanpa melalui proses beramal di dunia.
Baik itu pengusaha sukses, pejabat, bahkan seorang Kiai yang kaya, bisa jadi mereka zuhud selama mereka tidak rakus terhadap hal-hal duniawi yang fana. Meninggalkan kepentingan dunia dengan artian dunia hanya sebatas sebagai ladang memanam kebaikan untuk menuai hasil baik di akhirat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H