Mohon tunggu...
Zalmi Novriwan
Zalmi Novriwan Mohon Tunggu... Penulis - Indonesia

Masyarakat Demokratis Abstrak

Selanjutnya

Tutup

Politik

Masih Relevankah Sistem Pilkada Langsung yang didasari Essensi Demokrasi??

29 November 2017   15:24 Diperbarui: 29 November 2017   15:31 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilu merupakan salah satu dari tolak ukur keberhasilan sistem demokrasi di suatu  Negara. Pemilu yang dapat terlaksana dengan baik, berarti demokrasi dalam Negara tersebut pun baik. Pemilu merupakan kehendak mutlak bangsa Indonesia yang menetapkan dirinya sebagai Negara demokratis. Dalam konstitusi Negara Indonesua sendiri menyebutkan pemilu merupakan manivestasi kedaulatan rakyat. Pemilu yang diadakan setiap 5 tahun sekali ini sangat ditunggu-tunggu oleh berbagai pihak. 

Seperti warga negara yang menantikan pemilu ini sebagai harapan terjadinya suatu perubahan dan pergerakan ke arah yang lebih baik. Tidak hanya warga negara yang menantikan pemilu ini, tetapi juga para pejabat dan petinggi yang sudah menduduki bangku pemerintahan. Dalam pemilu ini para petinggi negara akan bertarung mempertahankan jabatan dan seperti ujian apakah rakyat akan memperpanjang mandatnya. Kemudian bagi partai politik, mereka menantikan event pemilu ini karena partai politik menginkan calon-calon yang diajukan oleh pihak partai dapat menduduki bangku pemerintahan menggantikan petinggi negara yang sudah ada.

Takdapat dipungkiri dalam pilkada langsung ada dampak positif dan negatif yang tidak ditampik publik. Sebagian dampak positif Pilkada langsung, Rakyat dapat memilih langsung kepala daerahnya sesuai penilaian pribadi masyarakatnya, Tokoh bisa terpilih walaupun dukungan partai minim. Melalui pilkada langsung tokoh - tokoh memungkinkan menang walau dengan dukungan partai yang minim. Asalkan bisa menggalang dukungan yang besar dari masyarakat.  

Kepala Daerah Terpilih diyakini telah merepresentasikan atau merupakan keterwakilan dari rakyat mayoritas. Karena proses demokrasi disini begitu kelihatan nyata kekuasaan tertinggi ada langsung di tangan rakyat bukan ada di tangan wakil rakyat, sehingga rakyat pun puas dengan apa yang mereka pilih.

Sebagian dampak negatif dalam pilkada langsung pilkada langsung memang rawan politik uang, rawan konflik sosial, dan cenderung memboroskan anggaran negara. Biaya yang dikeluarkan mulai dari biaya penyelenggaraan, kampanye, lobbi-lobbi partai pendukung sangat besar. Ini memungkinkan calon kepala daerah yang memiliki modal besar lah yang akan menang atau mereka yang mendapat dukungan dana dari pemodal besar. 

Kepala daerah yang berhutang untuk biaya kampanye dan kebutuhan untuk kemenanganya akan mengembalikannya melalui proses tender yang berkali -- kali lipat keuntungannya bagi penyokong modal ataupun memberikan kebijakan yang mendukung kepada pemilik modal termasuk dalam hal ini kepentingan asing juga bisa masuk terhadap penguasaan sumber-sumber kekayaan alam kita dan mempengaruhi kebijakan kepala daerah melalui pressure yang dilancarkan. Untuk mengembalikan modal besar pribadi, sponsor maupun partai yang telah mengeluarkan milyaran bahkan triliunan rupiah sudah barang tentu menjadikan korupsi sebagai jalan yang nyaman. Rawan penyalahgunaan birokrasi dan minim pengawasan.

Terwujudnya pemerintahan daerah yang (lebih) demokratis merupakan cita cita semua bangsa termasuk di dalamnya Indonesia. Namun upaya tersebut akan menjumpai suatu persoalan belum jelasnya mengenai tolak ukur yang bersifat universal untuk menilai apakah suatu pemerintahan daerah dapat dikategorikan sebagai pemerintahan yang demokratis atau tidak. Secara kultural demokrasi akan subur bila ditopang oleh tingkah laku demokratik seperti kesiapan berbeda pendapat, kesiapan untuk kalah, kesiapan bersaing secara jujur sikap damai dan lain lain.

Kadar demokrasi suatu negara ditentukan antara lain oleh seberapa besar peranan masyarakat dalam menentukan siapa di antara mereka yang dijadikan pejabat negara. Semakin banyak pejabat negara, baik di tingkat lokal maupun nasional, yang dipilih langsung oleh rakyat, maka semakin tinggi kadar demokrasi di negara tersebut.

Politik, kegiatan ini memang rasanya dapat dipandang dengan beberapa sisi. Di sisi para politisi, politik bisa jadi segalanya, bahkan ada orang yang mencari nafkah dari politik. Aneh memang, karena menurut saya politik tidak pantas untuk dijadian sebagai alat penghasil rupiah, karena politik menentukan nasib bukan hanya diri mereka ataupun keluarga mereka, tetapi disana ditentukan pula nasib semuaorang yang berada dibawah kekuasaan politik mereka. 

Jadi menurut saya tak adil kehidupan mereka kita bayar dengan penderitaan dan nasib banyak orang. Tak pernah lepas dari kata kepentingan dan mungkin mereka hanya menjalankan hobi sambil mencari uang dengan cara ikut taruhan dengan modal nasib orang. Dan kita yang ada dibawah kekuasaan mereka ya Cuma jadi modal untuk taruhan sambil berharap mereka masih ingat.

Dalam menentukan wakil rakyat yang benar-benar berkompeten untuk menentukan kemajuan dari suatu negara dibutuhkan pola pikir kritis masyarakatnya. Karena suatu Negara tidak akan mungkin berkembang tanpa adanya partisipasi dan dukungan dari masyarakatnya. Jadi partisipasi politik masyarakat sangat dibutuhkan dalam kehidupan perpollitikan di dalam suatu Negara. Inilah saatnya masyarakat tidak menutup mata dan dapat membuka dirinya terhadap suatu sistem perpolitikan dan sistem pemerintahan guna untuk memajukan negaranya.

Mengenai biaya pemilu legislatif ini,  tentu ada pendapat beragam. Satu pihak mengatakan,  inilah biaya yang pantas kita bayar kalau kita menginginkan sistem demokrasi. Pihak lain mengatakan,  harus dicari cara lain agar biaya pemilu tidak setinggi itu. Bagi pihak rakyat kecil yang di luar partai peserta pemilu dan yang merasa tidak ada keuntungan apapun  dari kegiatan ini akhirnya tinggal rasa heran saja ,  apa sih,   memilih angggota anggota DPD, yang entah apa kerjanya,  anggota anggota DPRD I & II ,  yang entah apa fungsinya,  memilih anggota anggota DPR yang banyak bolos,  tidur ketika sedang sidang dan banyak yang korupsi.

Pilkada langsung harus tetap dipertahankan. Dengan sistem itu rakyat bisa partisipasi memilih pemimpinnya secara langsung. DPR maupun DPRD hanya diisi oleh orang-orang elit. Pemilihan kepala daerah oleh anggota DPRD justru mendorong politik uang dalam jumlah besar. sehingga rakyat tahu siapa calon pemimpinnya. Tidak seperti zaman Orde Baru, tiba-tiba sudah ganti bupati atau gubernur. Soal biaya ya itu risiko calon. Kalo takut biaya ya tidak usah maju.

Perlu sistem ketatanegaraan atau birokrasi yang tidak mengarah kepada sistem politik yang dibuat oleh beberapa parpol atau parpol tunggal. Sebab bila mengulang kembali sistem politik lama, sepertinya kurang adil. Dengan pilkada langsung, rakyat bersama-sama akan mengontrol jalannya pemerintahan, karena rakyat merasa memiliki. Sebaliknya pemimpin akan lebih perhatian karena merasa diberi amanah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun