Mohon tunggu...
Zalita Andini
Zalita Andini Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance dan mahasiswi

Saya memiliki hobby travelling dan bernyanyi. Saat ini bekerja sambil berkuliah di universitas 17 agustus surabaya. 10 tahun bergelut di dunia entertain sebagai Model, MC, Usher, dan ex-TV Presenter.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kesetaraan Jabatan dalam Perspektif Standpoint Theory: Pendekatan Untuk Membangun Keadilan di Tempat Kerja

7 November 2024   23:44 Diperbarui: 8 November 2024   00:09 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://student-activity.binus.ac.id/tfi/wp-content/uploads/sites/41/2021/04/1.jpg

Abstrak

Artikel ini membahas peran Standpoint Theory dalam memahami dan mengatasi ketidaksetaraan sosial di tengah masyarakat yang semakin beragam. Teori ini menawarkan perspektif unik dengan menekankan pentingnya pengalaman hidup kelompok marjinal sebagai sumber pengetahuan yang sah, yang sering kali diabaikan oleh pandangan dominan. Dengan melihat ketidaksetaraan dari sudut pandang yang berbeda, Standpoint Theory membantu mengidentifikasi bentuk-bentuk ketidakadilan yang tidak selalu terlihat oleh kelompok dominan, seperti diskriminasi berbasis gender, ras, dan status sosial. Artikel ini mengeksplorasi prinsip dasar teori, manfaat, serta tantangan dalam penerapannya. Ditemukan bahwa meskipun Standpoint Theory memiliki potensi besar dalam menciptakan kesetaraan yang lebih inklusif, penerapannya dihadapkan pada tantangan seperti kurangnya pengakuan terhadap pengalaman kelompok marjinal dan risiko subjektivitas yang berlebihan. Artikel ini merekomendasikan pengintegrasian perspektif kelompok marjinal dalam pembuatan kebijakan, peningkatan edukasi tentang nilai keberagaman perspektif, dan pengembangan kajian berbasis Standpoint Theory untuk memperkuat pemahaman mengenai ketidaksetaraan sosial. Diharapkan, melalui pendekatan yang lebih inklusif ini, masyarakat dapat mencapai kesetaraan yang lebih adil dan responsif terhadap kebutuhan semua kelompok.

Kata Kunci: Standpoint Theory, kesetaraan sosial, kelompok marjinal, perspektif yang berbeda, ketidakadilan, inklusivitas, keberagaman perspektif, kebijakan sosial, diskriminasi, pengalaman hidup

Pendahuluan

Dalam beberapa dekade terakhir, isu kesetaraan sosial menjadi topik yang semakin mengemuka di berbagai kalangan, baik di lingkungan akademik, masyarakat umum, maupun dalam perumusan kebijakan. Masyarakat modern yang semakin beragam baik dalam hal budaya, etnis, gender, dan identitas lainnya, menghadapi tantangan dalam mewujudkan kesetaraan yang inklusif dan adil bagi seluruh lapisan sosial (Salsabila, 2024). Namun, upaya menuju kesetaraan ini sering kali terbentur oleh adanya sudut pandang dominan yang mengabaikan atau kurang mengakomodasi perspektif dari kelompok-kelompok marjinal. Hal ini menyebabkan adanya kesenjangan dalam memahami kebutuhan dan hak-hak kelompok terpinggirkan, yang pada gilirannya menghambat terciptanya masyarakat yang benar-benar setara.

Kendala ini membuka ruang bagi perlunya pendekatan baru yang mampu melihat realitas dari berbagai perspektif, terutama dari kelompok yang terpinggirkan. Di sinilah peran Standpoint Theory atau teori sudut pandang menjadi relevan. Standpoint Theory merupakan pendekatan teoritis yang menekankan bahwa pengetahuan dan pemahaman kita tentang dunia tidak dapat dipisahkan dari sudut pandang sosial kita (Ikhsan et al., 2024).

Pendekatan ini mempercayai bahwa individu atau kelompok yang terpinggirkan memiliki pandangan dunia yang berbeda dan unik, yang mampu memperkaya wawasan dan pengetahuan kita mengenai isu-isu kesetaraan. Menurut teori ini, pengalaman kelompok marjinal tidak hanya memberikan perspektif yang berbeda, tetapi juga menawarkan bentuk pengetahuan yang mungkin tidak dapat diakses oleh kelompok dominan. Dengan memahami pengalaman dari perspektif yang berbeda, masyarakat diharapkan dapat mencapai kesetaraan yang lebih inklusif.

Sebagai kerangka berpikir yang tumbuh dari tradisi sosiologi kritis dan feminisme, Standpoint Theory pertama kali diperkenalkan oleh Dorothy Smith dan kemudian dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Sandra Harding dan Patricia Hill Collins. Mereka berpendapat bahwa pengalaman dan pandangan individu dari kelompok marjinal sering kali tidak diakui atau dianggap tidak valid dalam masyarakat yang didominasi oleh perspektif mayoritas atau kelompok dominan (Smith, 2004). Oleh karena itu, Standpoint Theory tidak hanya menekankan pentingnya melihat realitas dari sudut pandang yang berbeda, tetapi juga menyerukan pengakuan terhadap validitas pengetahuan yang berasal dari pengalaman hidup kelompok terpinggirkan. Dengan kata lain, teori ini mengajak kita untuk mempertimbangkan pengalaman-pengalaman unik sebagai sumber pengetahuan yang sah dalam memahami berbagai isu sosial, termasuk isu kesetaraan.

Ketika diterapkan dalam konteks kesetaraan, Standpoint Theory memiliki potensi besar untuk menantang pandangan-pandangan konvensional yang cenderung bersifat homogen dan bias terhadap kelompok tertentu. Melalui teori ini, kita didorong untuk mengakui bahwa kesetaraan tidak dapat dicapai hanya dengan melihat dari perspektif kelompok dominan, karena kebutuhan dan hambatan yang dihadapi oleh kelompok berbeda juga sangat bervariasi. Misalnya, dalam isu kesetaraan gender, perempuan sering kali menghadapi tantangan yang berbeda dari laki-laki, dan tantangan tersebut tidak dapat sepenuhnya dipahami hanya dari perspektif laki-laki. Begitu pula, individu dari kelompok minoritas rasial atau etnis menghadapi diskriminasi yang mungkin tidak disadari oleh kelompok mayoritas. Dengan demikian, Standpoint Theory mengajarkan bahwa memahami kesetaraan memerlukan perhatian khusus terhadap perspektif dan pengalaman hidup mereka yang sering kali terabaikan.

Standpoint Theory menentang asumsi bahwa semua orang memiliki akses yang sama terhadap pengetahuan dan pemahaman tentang masalah-masalah sosial. Kenyataannya, struktur sosial sering kali menentukan siapa yang memiliki hak untuk berbicara, siapa yang didengarkan, dan siapa yang dianggap memiliki pandangan sah (Suryana, 2021). Individu atau kelompok yang memiliki kekuasaan cenderung lebih mudah untuk menyuarakan dan mempertahankan perspektif mereka, sedangkan kelompok yang terpinggirkan menghadapi berbagai kendala dalam mengemukakan pandangan mereka. Hal ini menyebabkan terbentuknya hierarki pengetahuan, di mana pandangan kelompok dominan cenderung lebih diakui dan dianggap benar. Standpoint Theory mencoba untuk membongkar hierarki ini dengan menyoroti nilai dari pandangan kelompok yang tidak memiliki kekuasaan atau pengaruh dalam masyarakat (Purnomo et al., 2023). Teori ini menuntut perhatian yang lebih besar terhadap suara dan pengalaman kelompok yang sebelumnya tidak dianggap sebagai sumber pengetahuan yang sah.

Dalam konteks masyarakat beragam seperti saat ini, Standpoint Theory menjadi semakin relevan. Kebutuhan untuk merangkul dan memahami perspektif dari berbagai kelompok sosial yang berbeda semakin penting, terutama dalam upaya mencapai kesetaraan yang sejati. Dengan mengakui bahwa pengetahuan dan pengalaman hidup kelompok marjinal memiliki nilai yang sama pentingnya dengan kelompok dominan, Standpoint Theory dapat menjadi alat yang efektif dalam merumuskan kebijakan dan strategi yang lebih inklusif. Teori ini membantu mengatasi masalah-masalah yang mungkin tidak terlihat oleh kelompok dominan, tetapi sangat nyata bagi mereka yang mengalami ketidakadilan sosial secara langsung.

Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi potensi Standpoint Theory sebagai kunci pemahaman baru dalam mencapai kesetaraan di tengah masyarakat yang semakin beragam. Melalui pembahasan ini, diharapkan dapat diperoleh wawasan yang lebih mendalam mengenai bagaimana Standpoint Theory dapat diterapkan untuk memahami dan mengatasi isu-isu kesetaraan dari sudut pandang yang lebih inklusif. Artikel ini akan mengkaji konsep dasar Standpoint Theory, mengidentifikasi tantangan dan kelebihan dalam penerapannya, serta memberikan contoh penerapannya dalam mengatasi ketimpangan sosial. Pada akhirnya, artikel ini bertujuan untuk memberikan kontribusi terhadap pemahaman kesetaraan yang lebih komprehensif, yang tidak hanya berpusat pada satu kelompok atau sudut pandang tertentu, tetapi mengakomodasi keberagaman perspektif dalam masyarakat.

Definisi dan Prinsip Dasar Standpoint Theory

  • Definisi Standpoint Theory

Standpoint Theory atau teori sudut pandang, adalah sebuah pendekatan dalam kajian sosiologi dan filsafat pengetahuan yang berargumen bahwa pengetahuan dan pemahaman individu tentang dunia dipengaruhi oleh posisi sosial mereka (Chairil & Shalahuddin, 2021). Dikembangkan dalam konteks feminisme dan teori kritis, teori ini menekankan bahwa individu yang berada di posisi marjinal atau terpinggirkan dalam masyarakat memiliki perspektif unik yang berbeda dari kelompok dominan.

Perspektif tersebut dianggap lebih akurat dalam memahami realitas sosial karena mereka memiliki pengalaman langsung dengan ketidaksetaraan, penindasan, atau ketidakadilan yang sering kali tidak dialami atau disadari oleh kelompok dominan. Dengan demikian, Standpoint Theory melihat bahwa pemahaman kita tentang realitas sosial akan berbeda tergantung pada posisi sosial kita.

Teori ini berangkat dari asumsi bahwa setiap orang mengembangkan pandangan dunia berdasarkan konteks sosial dan budaya mereka, tetapi individu yang hidup dalam situasi marginal lebih mungkin mengembangkan pandangan yang lebih kritis terhadap struktur sosial yang ada. Mereka cenderung memiliki pemahaman yang lebih komprehensif tentang ketidakadilan yang terjadi dalam masyarakat karena pengalaman langsung yang mereka alami. Oleh karena itu, Standpoint Theory menganggap bahwa perspektif kelompok marjinal dapat memberikan pengetahuan yang lebih mendalam, khususnya dalam hal memahami ketimpangan sosial dan ekonomi.

  • Prinsip Dasar Standpoint Theory
  • Pengetahuan Terkait dengan Posisi Sosial: Standpoint Theory berpendapat bahwa posisi sosial seseorang sangat mempengaruhi cara mereka melihat dan memahami dunia (Saharani et al., 2023). Seseorang yang berada di posisi dominan (seperti kelompok mayoritas atau kelompok berkuasa) memiliki pengalaman yang berbeda dari mereka yang berada di posisi subordinat atau marginal. Kelompok yang terpinggirkan cenderung memiliki pandangan yang lebih kritis dan mendalam terhadap ketidakadilan yang terjadi, karena mereka langsung mengalami dampaknya.
  • Pengalaman Kelompok Marjinal sebagai Sumber Pengetahuan yang Unik: Salah satu prinsip utama dari Standpoint Theory adalah bahwa pengalaman kelompok marjinal tidak hanya sekadar berbeda, tetapi juga berpotensi untuk memberikan wawasan atau pengetahuan yang unik (Anggraini, 2024). Mereka yang mengalami ketidakadilan memiliki pemahaman khusus tentang bagaimana struktur sosial bekerja, terutama dalam hal yang sering tidak disadari atau diabaikan oleh kelompok dominan. Dalam banyak hal, pengalaman kelompok marjinal dapat mengungkap aspek-aspek ketidakadilan yang tidak terlihat oleh kelompok dominan.
  • Perspektif dari Bawah Memiliki Keuntungan Epistemologis: Standpoint Theory mempercayai bahwa kelompok yang terpinggirkan memiliki apa yang disebut sebagai epistemic advantage atau keuntungan epistemologis. Artinya, posisi mereka dalam hierarki sosial memungkinkan mereka untuk melihat struktur kekuasaan dan ketidakadilan sosial dengan cara yang mungkin tidak terlihat oleh mereka yang berada di posisi dominan. Misalnya, perempuan atau kelompok minoritas rasial cenderung lebih memahami bentuk-bentuk diskriminasi yang tersembunyi atau tidak langsung karena mereka sering kali menjadi korban dari praktik diskriminasi tersebut.
  • Pengetahuan yang Valid Berasal dari Perspektif yang Beragam: Teori ini juga mengakui bahwa kebenaran atau pengetahuan yang valid tidak bisa hanya berasal dari satu kelompok atau perspektif dominan. Keberagaman perspektif, terutama dari kelompok marjinal, dianggap sebagai komponen penting dalam memperoleh pemahaman yang lebih menyeluruh tentang realitas sosial. Ini berarti, untuk memahami secara lengkap fenomena sosial atau masalah ketidakadilan, penting untuk memperhitungkan pandangan yang muncul dari berbagai kelompok sosial, terutama yang berada di posisi terpinggirkan.
  • Kritik terhadap Objektivitas dalam Pengetahuan: Standpoint Theory menantang konsep objektivitas dalam ilmu pengetahuan. Menurut teori ini, tidak ada posisi yang benar-benar objektif atau netral, karena setiap pandangan dunia dibentuk oleh posisi sosial tertentu. Dengan kata lain, apa yang kita anggap sebagai "objektif" sering kali hanyalah pandangan kelompok dominan yang diterima sebagai norma. Standpoint Theory mengajukan bahwa untuk mencapai pemahaman yang lebih adil, kita harus mengakui keberadaan subjektivitas dalam pengetahuan dan mengakomodasi perspektif dari berbagai kelompok sosial.
  • Pentingnya Kesadaran Kritis dari Kelompok Marjinal: Prinsip terakhir adalah pentingnya kesadaran kritis bagi kelompok marjinal dalam mengidentifikasi dan memahami ketidakadilan sosial yang mereka alami. Standpoint Theory menekankan bahwa kesadaran ini muncul dari pengalaman langsung dengan penindasan atau marginalisasi. Kesadaran kritis ini menjadi dasar bagi kelompok marjinal untuk mengembangkan pengetahuan mereka sendiri yang berbeda dari pandangan kelompok dominan dan dapat digunakan untuk memperjuangkan kesetaraan sosial.

Dengan prinsip-prinsip ini, Standpoint Theory menawarkan cara pandang yang menekankan pentingnya perspektif yang beragam dalam memahami realitas sosial. Teori ini tidak hanya menjadi alat untuk memahami ketidaksetaraan, tetapi juga menjadi sarana untuk memvalidasi pengalaman kelompok marjinal sebagai bagian yang sah dalam wacana pengetahuan dan kebenaran sosial.

Kesetaraan dan Perspektif yang Berbeda

Kesetaraan adalah salah satu tujuan utama dalam masyarakat yang inklusif dan adil, di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang tanpa terhalang oleh latar belakang sosial, ekonomi, gender, ras, atau identitas lainnya (Sasmiharti, 2023). Namun, dalam upaya mewujudkan kesetaraan, perspektif yang berbeda menjadi aspek penting yang perlu diperhatikan. Dalam banyak kasus, kesetaraan hanya dapat dipahami dan dicapai dengan mempertimbangkan pandangan dari kelompok yang berbeda, terutama kelompok yang sering terpinggirkan dalam masyarakat. Standpoint Theory menawarkan pendekatan untuk memahami bahwa perspektif yang beragam dapat memberikan wawasan yang lebih kaya dan mendalam tentang realitas sosial yang kompleks.

  • Perspektif dari Kelompok Marjinal: Wawasan yang Unik terhadap Ketidaksetaraan

Pengalaman hidup kelompok yang terpinggirkan sering kali memberikan pemahaman yang lebih tajam tentang ketidakadilan. Kelompok-kelompok ini, seperti perempuan, minoritas rasial atau etnis, serta individu dengan disabilitas, memiliki pengalaman yang berbeda dari kelompok dominan. Mereka sering kali mengalami hambatan yang tidak dirasakan atau disadari oleh kelompok dominan, seperti diskriminasi, stigma, dan marginalisasi. Perspektif mereka memberikan wawasan unik tentang bagaimana ketidaksetaraan beroperasi dalam struktur sosial, yang tidak selalu dapat diidentifikasi oleh mereka yang berada dalam posisi kekuasaan.

  • Kesetaraan yang Inklusif melalui Keberagaman Perspektif

Kesetaraan yang inklusif hanya dapat tercapai jika masyarakat menghargai perspektif yang berbeda dan mengakui bahwa pengalaman kelompok terpinggirkan memiliki nilai pengetahuan. Perspektif yang beragam memperkaya pemahaman kita tentang realitas sosial dengan mengungkap berbagai bentuk ketidakadilan yang mungkin tidak terlihat oleh satu kelompok. Dengan memahami pengalaman hidup yang berbeda, masyarakat dapat merumuskan kebijakan dan praktik yang lebih responsif terhadap kebutuhan semua lapisan sosial. Misalnya, kebijakan anti-diskriminasi yang dirancang dengan mempertimbangkan pandangan dari kelompok minoritas cenderung lebih efektif dan adil daripada kebijakan yang hanya didasarkan pada perspektif kelompok dominan.

  • Tantangan dalam Mengintegrasikan Perspektif yang Berbeda

Mengintegrasikan perspektif yang berbeda dalam upaya mencapai kesetaraan bukanlah hal yang mudah. Salah satu tantangannya adalah bahwa kelompok dominan sering kali tidak menyadari, atau bahkan menolak, pengalaman ketidaksetaraan yang dirasakan oleh kelompok marjinal. Pengalaman kelompok marjinal sering kali dianggap sebagai "kurang objektif" atau "subjektif," dan dengan demikian kurang sah dalam membentuk kebijakan atau pengetahuan umum. Ini menciptakan hierarki pengetahuan di mana pandangan kelompok dominan dianggap lebih valid, sedangkan pandangan kelompok lain diabaikan atau diremehkan.

  • Manfaat Kesetaraan yang Berdasarkan Perspektif yang Beragam

Dengan menerima dan mengintegrasikan perspektif yang berbeda, kesetaraan dapat menjadi lebih dari sekadar konsep atau tujuan abstrak. Kesetaraan yang didasarkan pada keberagaman perspektif memungkinkan adanya inklusi yang lebih autentik dan relevan. Pengakuan terhadap pengalaman hidup kelompok marjinal membantu menciptakan struktur sosial yang lebih responsif, di mana kebijakan dan praktik diadaptasi berdasarkan kebutuhan nyata masyarakat. Sebagai contoh, kebijakan yang mempertimbangkan pengalaman perempuan dalam dunia kerja tidak hanya akan menguntungkan perempuan, tetapi juga akan menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil bagi semua orang.

Dengan mempertimbangkan perspektif yang berbeda dalam upaya mencapai kesetaraan, Standpoint Theory menawarkan pendekatan yang lebih inklusif dan realistis. Pengalaman kelompok marjinal bukan hanya sumber informasi tentang ketidakadilan, tetapi juga sumber pengetahuan yang sah dalam menciptakan perubahan sosial. Dengan mengakui nilai perspektif yang beragam, masyarakat dapat menghindari pandangan yang homogen dan mencapai kesetaraan yang lebih berkelanjutan dan relevan. Dalam rangka mencapai kesetaraan yang sejati, penting bagi setiap lapisan masyarakat untuk menghargai dan mendengarkan suara-suara yang sebelumnya terpinggirkan. Standpoint Theory mengajarkan bahwa pemahaman tentang kesetaraan hanya dapat diperoleh jika kita berani melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda.

Penerapan Standpoint Theory dalam Mengatasi Ketimpangan

Standpoint Theory menawarkan perspektif yang unik untuk memahami dan mengatasi ketimpangan sosial. Dengan menekankan pentingnya pandangan dari kelompok marjinal, teori ini membantu mengidentifikasi dan menangani bentuk-bentuk ketidakadilan yang sering kali tidak terlihat oleh kelompok dominan. Penerapan Standpoint Theory dalam mengatasi ketimpangan membuka jalan bagi pendekatan yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan berbagai kelompok sosial. (Aisyi et al., 2023), Berikut adalah beberapa penerapan konkret Standpoint Theory dalam berbagai konteks ketimpangan:

  • Ketimpangan Gender di Tempat Kerja

Ketimpangan gender di tempat kerja merupakan salah satu isu sosial yang menonjol dan kompleks. Standpoint Theory memungkinkan kita untuk memahami masalah ini dari perspektif perempuan yang sering mengalami diskriminasi, ketidakadilan, atau pelecehan. Misalnya, perempuan di berbagai sektor pekerjaan sering kali menghadapi hambatan dalam mencapai posisi kepemimpinan atau mendapatkan upah yang setara dengan rekan pria mereka. Dengan menerapkan Standpoint Theory, kebijakan perusahaan dapat dibentuk berdasarkan pengalaman nyata perempuan di tempat kerja, seperti penerapan kebijakan anti-diskriminasi yang lebih ketat, peningkatan kesetaraan gaji, serta program mentorship yang mendukung pengembangan karier perempuan.

Standpoint Theory juga relevan dalam mengatasi ketimpangan rasial dan etnis. Kelompok minoritas rasial sering mengalami diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan, pekerjaan, dan akses terhadap pelayanan publik. Dengan menggunakan Standpoint Theory, pandangan dan pengalaman hidup kelompok minoritas dapat menjadi panduan untuk memahami bentuk-bentuk diskriminasi yang tidak selalu disadari oleh kelompok mayoritas. Misalnya, pengalaman diskriminasi yang dialami oleh kelompok minoritas rasial dapat memberikan wawasan tentang bagaimana struktur pendidikan atau sistem peradilan cenderung lebih menguntungkan kelompok mayoritas.

  • Ketimpangan Akses Terhadap Kesehatan

Akses yang tidak merata terhadap layanan kesehatan adalah bentuk ketimpangan lain yang dapat diatasi dengan pendekatan Standpoint Theory. Kelompok-kelompok tertentu, seperti masyarakat berpenghasilan rendah, kelompok minoritas, atau individu dengan disabilitas, sering kali menghadapi hambatan dalam mendapatkan layanan kesehatan yang memadai. Dengan mendengarkan pengalaman mereka yang mengalami kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan, pembuat kebijakan dapat lebih memahami kebutuhan dan kendala spesifik yang dialami oleh kelompok tersebut.

  • Inklusi Sosial bagi Individu dengan Disabilitas

Standpoint Theory juga dapat diterapkan untuk mengatasi ketimpangan yang dialami oleh individu dengan disabilitas. Dalam banyak masyarakat, individu dengan disabilitas sering kali menghadapi berbagai bentuk diskriminasi dan keterbatasan akses, baik dalam hal pendidikan, pekerjaan, maupun aksesibilitas fisik. Dengan memahami dunia dari perspektif individu dengan disabilitas, masyarakat dapat mengidentifikasi kebutuhan yang mungkin tidak disadari oleh kelompok yang tidak mengalami disabilitas.

  • Pengembangan Kebijakan Sosial yang Inklusif

Salah satu penerapan utama Standpoint Theory adalah dalam pengembangan kebijakan sosial yang inklusif. Kebijakan yang dibuat berdasarkan perspektif dominan cenderung mengabaikan kebutuhan kelompok marjinal, yang akhirnya menyebabkan ketimpangan yang terus berlanjut. Dengan mengintegrasikan Standpoint Theory dalam proses pembuatan kebijakan, pemerintah dapat mengidentifikasi kebutuhan yang lebih kompleks dan mendalam dari kelompok marjinal, sehingga kebijakan yang dihasilkan lebih tepat sasaran.

Standpoint Theory memberikan landasan bagi pendekatan yang lebih inklusif dalam mengatasi ketimpangan sosial. Dengan memahami pengalaman kelompok marjinal, kita dapat mengidentifikasi berbagai bentuk ketidakadilan yang mungkin terabaikan oleh kelompok dominan. Penerapan teori ini dalam berbagai aspek kehidupan --- dari pekerjaan, pendidikan, kesehatan, hingga kebijakan sosial --- menunjukkan bahwa menghargai perspektif yang berbeda dapat menghasilkan solusi yang lebih holistik dan relevan. Pada akhirnya, Standpoint Theory membuka jalan bagi terciptanya masyarakat yang lebih adil dan inklusif dengan mengintegrasikan pengalaman hidup kelompok terpinggirkan dalam upaya mengatasi ketimpangan.

Tantangan dan Keterbatasan Standpoint Theory dalam Mencapai Kesetaraan

Meskipun Standpoint Theory menawarkan pendekatan yang penting dan inovatif untuk memahami serta mengatasi ketidaksetaraan sosial, teori ini tidak luput dari berbagai tantangan dan keterbatasan dalam penerapannya. Dalam praktiknya, Standpoint Theory menghadapi beberapa hambatan, baik dari segi penerimaan konsep, keberagaman perspektif yang sulit dijangkau, hingga potensi subjektivitas berlebihan (Irsyadillah & Sunarto, 2024). Berikut adalah beberapa tantangan dan keterbatasan utama Standpoint Theory dalam mencapai kesetaraan.

  • Tantangan dalam Mengakui Validitas Pengalaman Kelompok Marjinal

Salah satu tantangan utama Standpoint Theory adalah kurangnya pengakuan atas validitas pengalaman kelompok marjinal oleh kelompok dominan atau masyarakat luas. Dalam banyak kasus, pandangan dari kelompok marjinal sering kali dianggap kurang sah atau kurang objektif dibandingkan dengan pandangan yang berasal dari kelompok dominan. Perspektif dari kelompok dominan masih sering menjadi standar atau norma dalam pengetahuan dan kebijakan. Akibatnya, pengalaman yang diangkat oleh kelompok yang terpinggirkan cenderung diabaikan atau tidak dianggap sebagai sumber pengetahuan yang sah.

  • Kesulitan dalam Mencakup Keberagaman Perspektif yang Kompleks

Salah satu kekuatan Standpoint Theory adalah kemampuannya untuk mengungkap pengalaman yang beragam dan berbeda dari kelompok marjinal. Namun, keragaman ini juga menjadi tantangan. Setiap individu atau kelompok memiliki pengalaman yang unik, bahkan dalam satu kelompok marjinal yang sama. Misalnya, pengalaman perempuan kulit putih bisa sangat berbeda dari perempuan kulit berwarna, atau pengalaman pekerja berpenghasilan rendah berbeda dengan mereka yang memiliki pendapatan lebih tinggi. Dengan demikian, Standpoint Theory menghadapi keterbatasan dalam mencakup seluruh spektrum pengalaman yang kompleks ini.

  • Potensi Subjektivitas yang Berlebihan dalam Pengetahuan

Standpoint Theory berpendapat bahwa setiap individu memiliki perspektif unik berdasarkan posisi sosialnya, yang memengaruhi cara mereka melihat dunia. Namun, ini juga membuka peluang untuk munculnya subjektivitas berlebihan. Dengan menekankan pentingnya pengalaman individu, ada risiko bahwa setiap pandangan dianggap sah tanpa batasan, yang dapat mempersulit upaya untuk mencapai konsensus dalam isu-isu sosial. Terlalu mengandalkan subjektivitas berisiko mengarah pada relativisme, di mana setiap sudut pandang diperlakukan sama tanpa mempertimbangkan kriteria atau prinsip yang lebih luas untuk menilai ketidakadilan sosial.

  • Tantangan dalam Mengaplikasikan Standpoint Theory di Ranah Kebijakan

Menerapkan Standpoint Theory dalam pembuatan kebijakan publik juga menghadapi tantangan yang signifikan. Kebijakan publik sering kali harus diterapkan pada skala luas, dan memerlukan prinsip-prinsip yang dapat berlaku untuk banyak kelompok sekaligus. Pendekatan Standpoint Theory yang sangat bergantung pada pengalaman kelompok marjinal dapat sulit untuk diterapkan secara langsung dalam kebijakan yang harus menyasar populasi yang sangat beragam. Menyatukan berbagai perspektif menjadi satu kebijakan yang komprehensif sering kali membutuhkan kompromi yang tidak selalu sejalan dengan prinsip dasar teori ini.

  • Keterbatasan dalam Menjangkau Struktur Kekuasaan yang Kompleks

Standpoint Theory mendorong adanya pengakuan terhadap perspektif dari kelompok terpinggirkan. Namun, dalam masyarakat yang memiliki struktur kekuasaan kompleks, mengakomodasi suara kelompok marjinal dalam pengambilan keputusan sering kali terhambat oleh sistem kekuasaan yang ada. Struktur sosial dan politik yang hierarkis sering kali memberikan kekuatan lebih besar pada kelompok dominan, sehingga pandangan kelompok marjinal tidak selalu dipertimbangkan atau memiliki dampak yang signifikan. Dalam situasi ini, Standpoint Theory berfungsi sebagai kritik terhadap struktur kekuasaan, tetapi tantangannya tetap ada pada bagaimana memastikan agar perspektif kelompok terpinggirkan benar-benar dapat memengaruhi perubahan yang berarti.

  • Risiko Fragmentasi dalam Gerakan Sosial

Karena Standpoint Theory menekankan perbedaan perspektif berdasarkan posisi sosial, terdapat potensi untuk terjadinya fragmentasi dalam gerakan sosial. Dengan adanya beragam pengalaman dan pandangan dalam satu kelompok, Standpoint Theory dapat menyebabkan perpecahan internal dalam gerakan sosial karena perbedaan pandangan mengenai prioritas atau pendekatan. Misalnya, dalam gerakan feminisme, perempuan dengan latar belakang ras atau kelas yang berbeda mungkin memiliki prioritas yang berbeda dalam isu yang ingin diperjuangkan.

Dengan memahami keterbatasan ini, Standpoint Theory dapat terus dikembangkan dan disesuaikan untuk mengakomodasi keberagaman perspektif, sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih efektif dalam upaya mencapai masyarakat yang lebih adil dan setara.

Kesimpulan

Standpoint Theory menawarkan pendekatan unik untuk memahami dan mengatasi ketidaksetaraan dalam masyarakat yang beragam. Teori ini menekankan pentingnya melihat realitas sosial dari perspektif kelompok yang terpinggirkan, yang sering kali memiliki pengalaman langsung dengan ketidakadilan. Dengan menghargai dan mengakui perspektif yang berbeda, Standpoint Theory membantu kita mengidentifikasi bentuk-bentuk ketidaksetaraan yang mungkin tidak terlihat oleh kelompok dominan. Melalui penerapan teori ini, pandangan kelompok marjinal dianggap sebagai sumber pengetahuan yang sah, yang dapat memperkaya kebijakan dan praktik sosial sehingga lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan semua kelompok. Namun, Standpoint Theory juga memiliki keterbatasan yang perlu diperhatikan. Tantangan-tantangan seperti kurangnya pengakuan terhadap validitas pengalaman kelompok marjinal, risiko subjektivitas yang berlebihan, dan kesulitan dalam penerapan kebijakan pada skala luas menunjukkan bahwa teori ini tidak selalu mudah untuk diterapkan. Di samping itu, perbedaan perspektif yang besar dalam satu kelompok dapat memicu fragmentasi, yang dapat mengurangi kekuatan kolektif dalam upaya mencapai perubahan sosial.

 Meskipun demikian, Standpoint Theory tetap memiliki peran penting dalam mendorong pemahaman kesetaraan yang lebih inklusif. Dengan pendekatan yang seimbang dan terbuka, teori ini dapat menjadi alat yang efektif untuk menantang dan mengubah struktur sosial yang ada. Pada akhirnya, Standpoint Theory mengajarkan bahwa kesetaraan hanya dapat dicapai jika kita berani mendengarkan dan mempertimbangkan perspektif dari berbagai kelompok, terutama mereka yang telah lama terpinggirkan. Dengan cara ini, masyarakat yang lebih adil dan inklusif dapat tercipta, di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang tanpa hambatan sosial yang tidak adil.

Rekomendasi

Berdasarkan analisis yang telah disampaikan, beberapa rekomendasi penting dapat diterapkan untuk memperkuat dampak Standpoint Theory dalam upaya mencapai kesetaraan sosial. Pertama, para pembuat kebijakan diharapkan dapat mengintegrasikan perspektif dari kelompok marjinal dalam setiap tahap proses perumusan kebijakan. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan perwakilan kelompok marjinal dalam konsultasi publik, kelompok diskusi terfokus, atau survei pengalaman langsung untuk memastikan bahwa kebijakan yang dibuat mencerminkan kebutuhan seluruh kelompok sosial. Kedua, edukasi tentang pentingnya keberagaman perspektif perlu ditingkatkan, baik di sekolah, lingkungan kerja, maupun komunitas masyarakat.

Dengan pemahaman yang lebih luas mengenai nilai pengalaman kelompok marjinal sebagai sumber pengetahuan, masyarakat akan lebih mampu menghargai perspektif yang beragam dan memahami ketidakadilan sosial secara lebih komprehensif. Terakhir, penting bagi para akademisi dan peneliti untuk terus mengembangkan kajian berbasis Standpoint Theory guna menyediakan bukti yang lebih konkret tentang manfaat keberagaman perspektif. Kajian semacam ini dapat memperkuat dasar pengetahuan tentang ketidaksetaraan serta memberikan wawasan baru yang dapat dimanfaatkan dalam pembuatan kebijakan sosial yang lebih adil dan inklusif.

Referensi

Aisyi, A. A., Lukmantoro, T., & Widagdo, M. B. (2023). Representasi Women Empowerment Melalui Karakter Penari Striptis Perempuan Dalam Film Hustlers. Semiotika, 1, 13--15. https://eprints2.undip.ac.id/id/eprint/14249%0Ahttps://eprints2.undip.ac.id/id/eprint/14249/2/BAB 1.pdf

Anggraini, L. (2024). Kajian Kepustakaan Sistematis (Systematic Literature Review) Tentang Kebahagiaan (Happiness) Dan Kesejahteraan Psikologis (Subjective Well-Being) Mahasiswa Perguruan Tinggi Di Negara Berkembang & Maju Dari Tahun 2020--S/D. 2024. Jurnal Ilmu Kesehatan Universitas Salakanagara, 10(1).

Chairil, A., & Shalahuddin, H. (2021). Studi Kritis Feminist Legal Theory Menurut Perspektif Islamic Worldview. Mimbar Hukum, 33(1), 188--215. https://doi.org/10.22146/mh.v33i1.1948

Ikhsan, M. A., Muzdalifah, Z., Anam, F. K., & Adzim, A. (2024). teori kritis dan pengetahuan inklusif: kajian double consciousness situated knowlegde dan reflektivtas kritis. Educatus, 2(2), 22--33.

Irsyadillah,  uli zahro, & Sunarto. (2024). Pengalaman Kewartawanan Perempuan dalam Mendapatkan Kesetaraan Karir di Media Massa. Interaksi Online, 12(3).

Purnomo, A. N., Widagdo, M. B., & Yusriana, A. (2023). Pemaknaan Khalayak terhadap Sikap Keterbukaan Diri Penyintas Kekerasan Seksual dalam Film Penyalin Cahaya (2021). Interaksi Online, 12(1), 1--24. https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/interaksi-online/article/view/42025

Saharani, F. A., Cahyo, B., Adhi, S., & Ekoputro, W. (2023). Pandangan Pengguna Instagram di Kalangan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Seminar Nasional Mahasiswa Komunikasi (SEMAKOM) 2nd, 1(2), 475--482.

Salsabila, M. (2024). Tantangan Kontemporer Hak Asasi Manusia di Indonesia: Kasus-Kasus Diskriminasi dan Kekerasan yang Menggugah Kesadaran. Socius: Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, 1(6), 89--96. https://zenodo.org/records/10476843

Sasmiharti, J. (2023). Manfaat Sosial Ekonomi Dari Pendidikan Gratis di Masyarakat. Jurnal Review Pendidikan Dan Pengajaran, 6(1), 57--62. https://journal.universitaspahlawan.ac.id/index.php/jrpp/article/view/16954

Smith, D. E. (2004). Women's perspective as a radical critique of sociology. The Feminist Standpoint Theory Reader: Intellectual and Political Controversies, 1, 7--13.

Suryana, C. (2021). Komunikasi Kebijakan Pendidikan. Jakad Media Publishing.

Saya Zalita Andini, mahasiswi semester 7 Ilmu Komunikasi Untag Surabaya memenuhi tugas mata kuliah Komunikasi Gender dengan dosen pengampu Dr. Merry Fridha., M.Si.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun