Pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia menerapkan sistem politik luar negeri Indonesia berupa prinsip “A Thousand Friends, Zero Enemy” yang mengedepankan penyelesaian dengan cara negosiasi atau hubungan baik antar kedua belah pihak antara pihak yang berkaitan tanpa menciptakan perpecahan.
Prinsip ini digunakan oleh SBY untuk menunjukkan bahwa Indonesia mengutamakan kerjasama antara negara-negara berkaitan terutama dalam sektor yang lebih luas seperti perekonomian, politik, hingga sosial.
Salah satu fenomena yang terjadi, yaitu perang berdarah di Aceh yang dilatarbelakangi oleh berbagai aspek yang membuat tidak kunjung selesai hingga 30 tahun lamanya (1976-2005).
Bermula pada saat pemerintahan Soeharto, masyarakat Aceh tidak dapat merasakan secara langsung hasil dari sumber daya alam yang mereka miliki. Tidak adanya transparansi bagaimana distribusi sumber daya alam tersebut menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat Aceh.
Pada 17 Desember 1976, dibentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM) oleh Dr. Teungku Hasan Muhammad di Tiro atau kerap dikenal dengan Hasan di Tiro.
Tujuan dengan terbentuknya GAM ini adalah sebagai bentuk untuk mendapatkan keadilan bagi masyarakat Aceh atas eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan oleh pemerintahan Aceh.
Selain itu, masyarakat Aceh merasa tidak puas dengan terbentuknya kebijakan Orde Baru, yang diperburuk dengan terjadinya pelanggaran HAM oleh aparat keamanan pada masa Daerah Operasi Militer (DOM) yang terjadi pada 1989-1998.
Setelah SBY resmi menjadi Presiden NKRI, ia bersama dengan Jusuf Kalla pada masa itu menekankan untuk segera menyelesaikan konflik Aceh yang berkepanjangan ini. Upaya SBY untuk menyelesaikan konflik tersebut adalah salah satunya dengan memperpanjang berlakunya darurat sipil di Aceh pada masa itu.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2004 tentang Keadaan Bahaya dengan Tingkat Keadaan Darurat Sipil di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang telah berlaku sejak 19 November 2004 yang dimana pada saat itu GAM menggunakan teknik pendekatan konflik.
Namun, hal itu berubah saat terjadi tsunami 9,3 richter melanda Aceh pada 26 Desember 2004 yang mengakibatkan kerugian hingga 4,5 miliar dollar AS. Lalu, muncullah indikasi bahwa akan adanya bantuan internasional yang berasal dari berbagai negara-negara asing.