Pada Jumat, 7 Juni 2024, mahasiswa Indonesia di School of Oriental and African Studies (SOAS), University of London, menggelar festival Kembang Goyang dengan penuh semarak. Acara ini bertujuan untuk mempromosikan kekayaan budaya Indonesia kepada mahasiswa asing, diaspora Indonesia, serta komunitas internasional dan multikultural di London.
Festival ini merupakan inisiatif penting yang menunjukkan semangat kolaborasi di antara mahasiswa Indonesia di perantauan, yang bersama-sama menciptakan sebuah acara yang memukau. Berbagai kegiatan menarik disiapkan untuk memperkenalkan Indonesia melalui seni, musik, tari, dan film. Tujuan utamanya adalah untuk menciptakan pemahaman yang lebih mendalam dan apresiasi terhadap warisan budaya Indonesia di kalangan masyarakat global.
Selain itu, festival ini juga memberikan kesempatan bagi diaspora Indonesia di London untuk kembali merasakan nuansa kampung halaman mereka, sambil berbagi kekayaan budaya dengan teman-teman dari berbagai latar belakang. Melalui interaksi ini, Kembang Goyang berhasil membangun jembatan budaya yang menghubungkan berbagai komunitas dan memperkaya pengalaman lintas budaya para peserta.
Transformasi Junior Common Room (JCR) Menjadi Miniatur Indonesia
Festival Kembang Goyang digelar di Junior Common Room (JCR) SOAS, sebuah ruang publik kampus yang sering digunakan pelajar untuk berkumpul dan berekspresi. Pada hari itu, JCR disulap menjadi ruang yang kental dengan nuansa Indonesia. Setiap sudut ruangan menampilkan elemen-elemen budaya Indonesia yang memukau.
Memasuki JCR, pengunjung disambut dengan "Indonesian Corner" yang memamerkan karya seni buatan tangan artis Indonesia. Deretan kemeja batik dan kain motif tradisional berbagai rupa dipajang berdekatan dengan buku-buku fiksi dan nonfiksi tentang Indonesia. Buku-buku ini termasuk karya-karya terjemahan bahasa Inggris seperti "Cantik Itu Luka" karya Eka Kurniawan, "Ibuisme Negara" oleh Julia Suryakusuma, dan "Bumi Manusia" karya Pramoedya Ananta Toer, yang menarik minat para pengunjung untuk memahami lebih dalam tentang budaya dan sejarah Indonesia.
 Pentas Seni dan Tari yang Menghipnotis
Selain pameran, festival ini juga diramaikan oleh penampilan musik dan tari khas Indonesia yang mengisi panggung secara bergantian. Acara dimulai dengan alunan petikan dawai oud oleh Mow Ray, yang membawakan lagu-lagu daerah dengan indah. Kemudian, Indonesian Angklung Club memukau penonton dengan gubahan musik kontemporer angklung, yang disambut riuh tepuk tangan.
Sorotan utama pada Kembang Goyang tahun ini adalah penampilan Tara Nursalim-Paul yang membawakan Tari Gending Sriwijaya. Tari tradisional dari Palembang, Sumatra Selatan, yang lahir pada 1945 dari kreativitas Delima Rozak ini ditampilkan dengan penuh kharisma oleh Tara, lengkap dengan pakaian tradisional yang memukau. Antusiasme penonton tak terbendung, terutama saat Tara mengajak peserta untuk mengikuti workshop tari setelah penampilannya.
Workshop tari tersebut berlangsung sekitar dua jam dan dipenuhi oleh peserta yang antusias. Meskipun beberapa peserta tampak canggung pada awalnya, perlahan mereka mulai menikmati setiap gerakan yang diajarkan Tara. Tara menjelaskan bahwa pelatihan tari tidak hanya memerlukan keinginan belajar dan keterampilan, tetapi juga kepercayaan diri untuk berekspresi melalui gerakan tubuh.
 Pemutaran Film Dokumenter yang Menggugah
Selain pertunjukan tari dan pameran budaya, Kembang Goyang juga menampilkan pemutaran film dokumenter Indonesia di Ambedkar SOAS. Dengan menggandeng Forum Film Dokumenter, SOAS Indonesian Society memutar empat film yang mengeksplorasi isu sosial dan politik di Indonesia dari berbagai periode waktu.