Oleh: Syamsul Yakin dan Zalfa Nur Aini (Dosen dan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Saat ini perkembangan teknologi informasi sangatlah  pesat  dan  cepat  termasuk  di Indonesia sendiri. Dengan adanya teknologi  pada  dasarnya adalah  untuk mempermudah manusia dalam menjalankan sesuatu hal, contohnya adalah memanfaatkan kemajuan teknologi internet untuk bisnis online. Sebagai seorang muslim, kita perlu memperhatikan dahulu bagaimana islam memandang bisnis yang dilakukan secara online. Jadi, bagaimana hukum berbisnis secara online menurut syariat islam?
Bisnis dalam Al-Quran dijelaskan dengan kata tijarah (perniagaan/perdagangan), yang mencakup dua makna, yaitu perniagaan secara umum yang mencakup perniagaan antara manusia dengan Allah, dan perniagaan secara khusus, yang berarti perdagangan ataupun jual beli antar manusia, yang terkait dengan jual beli barang/jasa. Secara bahasa, jual beli berarti penukaran secara mutlak. Secara terminologi, jual beli adalah saling menukar harta dengan harta secara sukarela di antara kedua belah pihak, yaitu pihak yang menerima benda dan pihak lainnya menerima uang sebagai kompensasi barang, sesuai dengan perjanjian dan ketentuan yang  telah  dibenarkan  syara  dan  disepakati.
Praktek jual beli online tidak ditemukan dasar hukumnya secara spesifik dalam al-Qur'an, hadis, dan kitab-kitab ulama empat mazhab karena ini merupakan hal baru yang belum pernah ada pada masa dahulu. Dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 275, Allah telah menghalalkan jual beli kepada hamba-hamba-Nya dan melarang praktek jual beli yang mengandung riba. Maka jelaslah bahwa hukum asal jual beli adalah mubah (boleh). Namun, suatu jual beli dapat berubah status hukumnya tergantung terpenuhi atau tidaknya rukun dan syarat jual beli. Menurut yurisprudensi Islam, rukun-rukun jual beli yaitu adanya penjual dan pembeli, dengan syarat keduanya sudah mencapai usia baligh, berakal, serta tanpa paksaan. Adanya ijab qabul antara penjual dan pembeli yang dilakukan secara sadar, serta ada barang atau jasa yang diperjual belikan, dengan syarat dimiliki oleh penjualnya.
Dalam menghadapi perkembangan yang begitu pesat ini, kita tidak boleh melupakan prinsip-prinsip etika bisnis yang telah ada sejak lama. Salah satu prinsip utama dalam etika bisnis adalah kejujuran. Sebagai seorang pebisnis, kita harus bersikap jujur dalam menawarkan produk atau layanan kepada konsumen. Dalam bisnis online, kita harus memastikan bahwa informasi yang diberikan kepada konsumen adalah akurat dan jelas. Kita juga perlu menjaga kerahasiaan data konsumen dan menghindari praktik-praktik penipuan.
Bisnis online dan offline memiliki perbedaan utama dalam proses transaksi dan media yang digunakan. Bisnis offline mengutamakan interaksi langsung dengan ijab dan qabul secara tatap muka, sedangkan bisnis online menggunakan platform digital sehingga transaksi dilakukan tanpa kehadiran fisik. Meski berbeda, keduanya tetap mengikuti prinsip dasar transaksi dalam Islam. Namun, bisnis online memerlukan tambahan syarat, seperti kejelasan spesifikasi barang dan kesepakatan elektronik antara penjual dan pembeli.
Perkembangan teknologi informasi yang pesat, termasuk di Indonesia, mempermudah berbagai aspek kehidupan, salah satunya bisnis online. Dalam Islam, hukum jual beli online termasuk mubah (boleh), asalkan memenuhi rukun dan syarat jual beli, seperti adanya penjual dan pembeli yang baligh dan berakal, ijab qabul yang dilakukan dengan sadar, serta barang atau jasa yang jelas dan dimiliki penjual. Meskipun tidak dijelaskan secara spesifik dalam Al-Qur'an dan hadits, prinsip dasar seperti kejujuran, transparansi, dan penghindaran riba tetap harus dijaga dalam praktik bisnis online. Perbedaan utama bisnis online dan offline terletak pada proses transaksi yang menggunakan platform digital, namun keduanya tetap mengikuti prinsip transaksi yang diatur oleh syariat Islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H