Minyak goreng yang ada di pasaran biasanya terbuat dari kelapa sawit (Febriyanto & Firdaus, 2016), minyak goreng kelapa sawit dalam industri minyak goreng Indonesia dapat dibedakan menjadi dua, yaitu minyak goreng kemasan tidak bermerek (curah) dan minyak goreng kemasan bermerek. Minyak goreng curah adalah minyak goreng yang dijual literan kepada konsumen tanpa merek dan label produk dan biasanya ditempatkan di jeriken besar atau drum. Minyak goreng kemasan bermerek adalah minyak goreng yang mempunyai merek perusahaan produsen dan label mengenai segala sesuatu tentang produk dan menggunakan kemasan khusus (baik botol, jeriken, atau plastik) (Siswanto & Mulasari, 2015).
Minyak goreng tersusun dari beberapa senyawa seperti asam lemak dan trigliserida. Kandungan asam lemak di dalam trigliserida terdiri dari asam lemak tak jenuh (unsaturated fatty acid) dan asam lemak jenuh (saturated fatty acid). Asam lemak-jenuh (saturated fatty acid) merupakan asam lemak dimana rantai karbonnya mempunyai ikatan atom tunggal sedangkan asam lemak tak jenuh (unsaturated fatty acid) merupakan asam lemak dimana rantai karbonnya mempunyai ikatan rangkap (Husnah et al., 2020).
Proses pemanasan minyak pada suhu tertentu, ketika dipakai untuk menggoreng akan memutuskan sebagian ikatan rangkap (tidak jenuh) menjadi ikatan tunggal (jenuh). Minyak goreng yang digunakan berkali-kali akan mengalami oksidasi. Proses oksidasi tersebut akan membentuk gugus peroksida, asam lemak trans, dan asam lemak bebas. Penelitian pada hewan percobaan menunjukkan gugus peroksida dalam dosis besar dapat merangsang terjadinya kanker usus besar (Taufik & Seftiono, 2018). Syarat mutu minyak goreng yang layak untuk dikonsumsi menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3741-2013 bahwa nilai maksimal angka peroksida 1% mg 02/gr, asam lemak bebas 0.3%. (Masyithah et al., 2018)
Uji kualitas minyak goreng dapat ditentukan dengan kadar asam lemak bebas dan bilangan peroksida. Asam lemak bebas didapat dari proses oksidasi dan hidrolisis enzim selama pengolahan dan terus terjadi selama penyimpanan minyak goreng. Semakin besar bilangan asam berarti semakin tinggi pula kandungan asam lemak bebas di dalam minyak itu. Banyaknya asam lemak bebas di dalam makanan dapat membahayakan kesehatan, seperti lemak darah yang kemudian dapat menimbulkan kegemukan (Fauziah et al., 2013). Banyaknya asam lemak bebas dalam minyak menunjukkan penurunan kualitas minyak. Penentuan asam lemak bebas atau biasa disebut dengan free fatty acid (FFA) sangat penting untuk menentukan kualitas minyak. Semakin tinggi nilai FFA berarti kandungan asam lemak bebas semakin tinggi (Salim et al., 2021). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas minyak goreng bekas pakai (minyak kemasan) dan minyak goreng baru (curah) berdasarkan jumlah asam lemak bebas dan bilangan peroksida di sekitar kampus UIA.
MATERIAL DAN METODE
    Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Universitas Islam As-Syafi’iyah, dilaksanakan pada tanggal 28 sampai 31 Oktober 2022. Sampel yang digunakan adalah minyak goreng baru (curah) dan minyak goreng bekas (kemasan). Uji yang digunakan adalah penentuan angka peroksida dengan titrasi iodometri dan angka asam lemak bebas (FFA) menggunakan titrasi alkalimetri
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu neraca digital, gelas beaker, erlenmeyer, pipet tetes, gelas ukur, bunsen, kaki tiga, kawat kasa, aluminium foil. Bahan yang digunakan yaitu minyak goreng bekas pakai (minyak kemasan), minyak goreng baru (tanpa merek), Kloroform, Asam asetat glasial, KI Jenuh, Amilum 1%, Na2S2O3, NaOH 0,01 N, indikator PP, Alkohol 96%, dan Aquades.
Lemak Bebas
Sebanyak 15 ml minyak goreng baru (curah) dan minyak goreng bekas (kemasan) ditimbang kemudian dimasukan ke dalam 2 erlenmeyer berbeda, masing-masing ditambahkan 50 ml alkohol 96% dan dipanaskan hingga mendidih. Ditambahkan 3 tetes indikator PP atau fenolftalein kemudian dititrasi dengan NaOH 0,01 N sampai muncul warna merah muda dan tidak hilang lagi saat diaduk. Dicatat volume NaOH yang terpakai (Syafrinal, 2021).
Uji  Bilangan Peroksida
Minyak goreng sebanyak 10 ml ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 250 ml bertutup. Selanjutnya, ke dalam labu ditambahkan 12 ml kloroform dan 18 ml asam asetat glasial. Larutan digoyang-goyangkan sampai bahan terlarut semua. Setelah semua bahan tercampur, ditambahkan 0,5 ml larutan jenuh KI. Selama 1 menit campuran larutan didiamkan sambil tetap digoyang Selanjutnya ditambahkan 30 ml akuades. Berikutnya, ke dalam campuran larutan ditambahkan 0,5 ml amilum 1% Segera dititrasi dengan Na2S2O3 0,1 N hingga larutan berubah warna dari biru sampai warna biru mulai menghilang. Dicatat volume Na2S2O3 yang terpakai (Lempang et al., 2016)
Penentuan kadar asam lemak bebas atau free fatty acid (FFA) menggunakan dua jenis sampel yang berbeda yaitu minyak curah yang berwarna kuning jernih dan minyak bekas yang berwarna coklat keruh. Kedua minyak ini telah dibandingkan nilai mutunya berdasarkan penentuan kadar asam lemak bebas menggunakan metode titrasi alkali NaOH 0,1 M. Minyak ditambah alkohol, tujuan penambahan alkohol agar minyak dapat larut dan dapat bereaksi dengan basa alkali sehingga mudah untuk dititrasi (syafrinal 2021).Â
Terjadi perubahan warna pada kedua sampel minyak sebelum dan sesudah titrasi. Sebelum dititrasi, minyak baru berwarna kuning jernih dan minyak bekas berwarna kuning pekat. Setelah dititrasi, minyak bekas (kemasan) berubah warna menjadi merah pekat dan minyak baru (curah) tanpa merek berubah warna menjadi pink muda. Perubahan warna sangat terlihat jelas pada kedua sampel minyak. Jumlah titrasi NaOH yang dibutuhkan untuk berubah warna pada minyak baru curah lebih banyak dibandingan minyak bekas kemasan. Hal ini menunjukkan bahwa kadar asam lemak bebas minyak baru (curah) lebih tinggi dibandingkan kadar asam lemak bebas minyak bekas (kemasan). NaOH lebih cepat bereaksi pada larutan minyak bekas sehingga jumlah volume NaOH untuk berubah warna lebih sedikit) dibandingkan larutan minyak baru (curah) yang sulit bereaksi dengan NaOH sehingga perubahan warna yang terjadi tidak terlalu pekat.
Dari Tabel 1, dapat dilihat bahwa kadar asam lemak pada minyak curah 1,7067% dan kadar asam minyak bekas 0,853%. Berdasarkan standar mutu minyak goreng Indonesia sesuai SNI 01-3741-2013 maksimum 0,3% maka kedua sampel minyak tidak memenuhi SNI dan tidak layak lagi untuk dikonsumsi. Persentase asam lemak minyak curah jauh lebih tinggi kadar asam lemaknya dibandingkan minyak bekas. Kadar asam lemak bebas pada minyak bekas masih mendekati nilai standar nasional dengan selisih 0,5. Minyak bekas yang diuji dalam penelitian ini sudah digunakan sekitar 4-5 kali pemakaian yang dianjurkan tidak di pakai lagi karena karena kadar asam lemak bebas yang tinggi dapat menimbulkan penyakit berbahaya bagi tubuh.
Terjadi reaksi asam basa (alkalimetri) pada analisa asam lemak bebas yang disebut reaksi penetralan, Sampel yang mengandung asam lemak bebas ketika dititrasi menggunakan basa kuat akan menghasilkan garam bersifat basa, yang akan membentuk pewarnaan ungu jika ditambahkan dengan indikator fenoftalein menandakan bahwa asam lemak bebas yang terkandung pada sampel minyak telah habis bereaksi dengan NaOH membentuk garam sehingga dapat dihitung kadar asam lemak bebas yang terkandung pada sampel minyak (Nainggolan et al., 2016)
Bilangan peroksida menunjukkan tingkat kerusakan minyak karena proses oksidasi. Tingginya bilangan peroksida menunjukkan telah terjadi kerusakan pada minyak tersebut dan minyak akan mengalami ketengikan dan telah mengalami oksidasi.
Prinsip dari pengujian bilangan peroksida ini adalah titrasi iodometri. Masing-masing sampel ditambahkan campuran asam asetat yang bersifat polar yang dapat mengekstrak senyawa peroksida yang terdapat pada sampel dan kloroform yang bersifat non polar yang melarutkan sampel tersebut. Senyawa peroksida yang terdapat dalam sampel akan bereaksi dengan KI yang ditambahkan dan membebaskan senyawa Iodin. Iodin yang telah terbentuk ditambahkan dengan indikator amilum dan dititrasi dengan larutan Na2S2O3 hingga warna biru hilang. Jumlah iodin yang bereaksi dengan Na2S2O3 sama dengan jumlah ikatan peroksida yang terdapat dalam sampel yang diputus oleh Kalium Iodida (Syafrinal, 2021).
Terjadi perubahan warna pada kedua sampel minyak sebelum dan sesudah titrasi. Sebelum dititrasi Na2S2O3, minyak baru berwarna biru muda dan minyak bekas berwarna biru kehitaman. Setelah dititrasi Na2S2O3, minyak bekas dan minyak baru berubah warna menjadi bening. Perubahan warna sangat terlihat jelas pada kedua sampel minyak. Jumlah titrasi Na2S2O3 yang dibutuhkan untuk berubah warna pada minyak curah lebih banyak dibandingan minyak bekas. Hal ini menunjukkan bahwa bilangan peroksida pada sampel minyak curah lebih tinggi dibandingkan bilangan peroksida pada sampel minyak bekas. Na2S2O3 lebih cepat bereaksi pada larutan minyak bekas sehingga jumlah volume Na2S2O3 yang dibutuhkan untuk berubah warna lebih sedikit dibandingkan larutan minyak curah yang sulit bereaksi dengan Na2S2O3 sehingga sampel minyak curah membutuhkan volume Na2S2O3 yang banyak untuk berubah warna menjadi bening.
Dari Tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa bilangan peroksida pada minyak curah 35 mek O2/kg dan bilangan peroksida minyak bekas 20 mek O2/kg. Berdasarkan standar mutu minyak goreng Indonesia sesuia SNI 01-3741-2013 maksimum 10 mek O2/kg maka kedua sampel tidak memenuhi Syarat Nasional Indonesia (SNI) dan tidak layak lagi untuk dikonsumsi.
Bilangan peroksida menunjukan tingkat kerusakan minyak karena oksidasi dan dapat digunakan untuk mengetahui kadar ketengikan minyak. Ketengikan minyak adalah salah satu indikator kualitas minyak goreng sawit kemasan. Minyak goreng yang telah berbau tengik akan menyebabkan minyak menjadi kental, berwarna gelap, dan berbuih yang dapat menyebabkan konsumen yang mengkomsumsinya akan mengalami iritasi pada saluran pencernaan dan tenggorokan, bahkan akibat paling fatal dari ketengikan minyak adalah keracunan dan dalam jangka panjang akan mengakibatkan kanker (Nainggolan et al., 2016).
Bilangan peroksida yang tinggi mengindikasikan lemak atau minyak sudah mengalami oksidasi, namun pada angka yang lebih rendah bukan selalu berarti menunjukkan kondisi oksidasi yang masih dini. Angka peroksida rendah bisa disebabkan laju pembentukan peroksida baru lebih kecil dibandingkan dengan laju degradasinya menjadi senyawa lain, mengingat kadar peroksida cepat mengalami degradasi dan bereaksi dengan zat lain Oksidasi lemak oleh oksigen terjadi secara spontan jika bahan berlemak dibiarkan kontak dengan udara, sedangkan kecepatan proses oksidasinya tergantung pada tipe lemak dan kondisi penyimpanan (Widodo et al., 2020).
SIMPULAN DAN SARAN Â
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, kadar asam lemak bebas pada minyak curah 1,7067% dan minyak bekas 0,853%. Kadar peroksida minyak curah 35 mek O2/kg dan minyak goreng bekas 20 mek O2/k. Dapat disimpulkan bahwa kualitas kedua minyak goreng tersebut tidak memenuhi syarat mutu Standar Nasional Indonesia (SNI) karena melewari ambang batas yang tidak baik lagi untuk dikonsumsi.Â
Sebaiknya kita selektif dalam memilih minyak goreng, apalagi minyak goreng curah dan jangan menggunakan minyak goreng bekas lebih dari 3 kali pemakaian karena berdampak bagi kesehatan tubuh. Penelitian tambahan mengenai minyak goreng kemasan baru perlu dikembangkan sebagai perbandingan mutu minyak goreng yang baik dikonsumsi dan sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI).
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Ibu Qurrota A'yun yang telah memberikan dukungan dan bantuan serta memfasilitasi pelaksanaan penelitian ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H