Mohon tunggu...
Zalfa Kamila Rafifah
Zalfa Kamila Rafifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - S1 Keperawatan STIKes Mitra Keluarga

Kesehatan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Depresi pada Lansia

28 November 2023   09:26 Diperbarui: 28 November 2023   09:41 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Depresi pada lansia adalah masalah serius yang sering kali tidak mendapatkan perhatian yang seharusnya. Populasi lansia semakin bertambah, dan dengan itu, tingkat kejadian depresi pada kelompok usia ini juga mengalami peningkatan. Depresi pada lansia adalah gangguan kesehatan mental yang sering kali terjadi secara bersamaan dengan kondisi medis lainnya atau dianggap sebagai bagian alami dari penuaan. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk perubahan fisik dan biologis yang terjadi seiring usia, seperti penurunan produksi neurotransmiter otak yang terkait dengan suasana hati, serta faktor sosial, seperti isolasi dan kehilangan teman dan keluarga (Azari & Sururi, 2021).

Pada tahun 2050 akan terdapat lebih dari 400 juta penduduk berusia di atas 80 tahun. Angka ini meningkat tiga kali lipat dibandingkan pada tahun 2019, yaitu 143 juta orang lanjut usia di seluruh dunia (United Nations, 2019). Populasi lansia lanjut usia di Indonesia telah tumbuh secara eksponensial. Jumlah lansia menurut Kemenkes RI (2019) terus meningkat dari 18 juta orang (7,56%) pada tahun 2010 menjadi 25,9 juta orang (9,7%) pada tahun 2019 dan diperkirakan akan terus meningkat, dimana pada tahun 2035 menjadi 48,2 juta orang (15,77%). Angka depresi berdasarkan Riskesdas yaitu 6,1% dengan penduduk usia 55-64 tahun sebanyak 6,5%, usia 65-74 tahun sebanyak 8,0%, dan usia >75 tahun sebanyak 8,9% (Kemenkes RI, 2018). Sedangkan di Provinsi Jawa Barat sebanyak 7,75% penduduk yang mengalami depresi (Kemenkes RI, 2019b).

Selain itu, penelitian sebelumnya yang dilakukan di Indonesia menemukan bahwa lebih dari 40% dari 181 lansia yang tinggal di panti jompo mengalami depresi, dimana 31,5% adalah perempuan dan 11% adalah laki-laki (Pramesona & Taneepanichskul, 2018). Lansia yang depresi ditandai dengan suasana hati yang buruk, kurangnya motivasi, kehilangan kekuatan fisik, kegagalan merasakan kesenangan, sulit tidur, kurang konsentrasi, perasaan tidak berdaya, putus asa, dan kurangnya harga diri (National Institute of Mental Health, 2021).

Dampak dari depresi pada lansia sangat serius. Gangguan ini dapat memengaruhi kualitas hidup mereka, mengganggu fungsi sehari-hari, dan meningkatkan risiko penyakit fisik lainnya. Lansia yang mengalami depresi juga berisiko lebih tinggi mengalami isolasi sosial dan kualitas hidup yang buruk secara keseluruhan. Pencegahan dan penanganan depresi pada lansia melibatkan upaya seperti pendidikan masyarakat tentang masalah kesehatan mental, pemantauan kesehatan rutin, terapi, dan dukungan sosial. Selain itu, menjaga kebugaran fisik dan menjalani gaya hidup sehat juga dapat membantu mengurangi risiko depresi pada lansia.

Ada dua faktor yang mempengaruhi terjadinya depresi pada lansia, yaitu:

Dengan adanya dukungan keluarga dapat memberikan rasa nyaman, aman, tidak kesepian, merasa dipedulikan dan dihargai kehadiran lanjut usia tersebut. Peran keluarga juga penting untuk membantu lanjut usia dalam memecahkan suatu masalah serta membuat lansia merasa memiliki koping yang adaptif.

Keluarga menjadi lingkungan yang paling cocok untuk memenuhi keperluan lansia. Saat ini, dengan meningkatnya harapan hidup, lansia memiliki keperluan yang signifikan dan ingin menjaga koneksi dengan lingkungannya (Lase & Souisa, 2021). Stereotip tentang lanjut usia sering kali terkait dengan penyakit, ketergantungan pada orang lain, penurunan kebutuhan dan peluang, serta kehilangan relevansi dan nilai. Peran keluarga sangat penting dalam menentukan kesejahteraan dan keamanan lansia. Keluarga, sebagai sumber alami dukungan sosial, dapat memberikan beragam jenis dukungan kepada lansia.

Sementara itu, lansia mengekspresikan harapannya terhadap keluarga dan diri mereka. Lansia ingin keluarga mereka berhasil dan bahagia merawat mereka saat mereka tidak dapat lagi melakukan aktivitas sehari-hari (Amonkar et al., 2018). Mereka juga berharap keluarga mereka menjalani praktik beribadah dan menjaga hubungan yang harmonis di antara satu sama lain. Selain itu, para lansia juga berharap agar mereka didengarkan, dihargai, mendapatkan perhatian, dan pelayanan dari komunitas agama mereka serta dapat berperan aktif dalam berbagai aspek kehidupan keluarga.

Peran keluarga sangat signifikan dalam menentukan kesejahteraan dan keamanan para lansia. Keluarga, sebagai sumber alamiah dukungan sosial, memiliki kemampuan untuk memberikan berbagai jenis dukungan kepada para lansia. Secara umum, anggota keluarga terdekat memberikan pelayanan dan dukungan bagi para lansia. Lansia memerlukan aspek dukungan psikologis, termasuk dukungan emosional, dimana mereka mencari lingkungan yang dapat memahami dan merespons kebutuhan mereka. Lansia juga menginginkan teman yang bisa diajak berbicara, sering berkunjung, dan memberikan sapaan yang hangat (Setiti, 2012).

  • Dukungan Sosial

Lansia yang merasa putus asa menunjukkan penyesalan atas peluang yang hilang dan keinginan yang tidak tercapai. Lansia dengan sikap seperti ini cenderung mengalami ketidakbahagiaan, tekanan, mudah marah, serta seringkali merasakan kesedihan. Di samping itu, mereka juga mengalami penurunan dalam kondisi fisik, psikologis, dan sosial mereka. Penurunan dalam berbagai aspek ini memengaruhi kesejahteraan hidup lansia. L Lansia menghadapi berbagai situasi yang dapat memicu perasaan yang bervariasi, seperti ketika mereka pensiun, merawat orang lain, kehilangan orang terdekat, mengalami masalah kesehatan, atau kehilangan kemampuan fisik.

Beberapa faktor yang menyebabkan kesepian juga ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Novitasari & Aulia (2019) yaitu ketiadaan orang terdekat yang bersedia tinggal bersama, ketiadaan teman untuk berbicara, hubungan yang terbatas dengan keluarga dan kerabat, serta keterbatasan fisik yang menghambat partisipasi dalam kegiatan komunitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun