Pernikahan adalah sebuah proses mengikat lahir dan batin antara laki-laki dan perempuan melalui sebuah janji atau akad untuk membangun rumah tangga dan hidup bersama agar dapat memiliki keturunan. Pernikahan merupakan proses yang sakral karena dari proses inilah akan dimulai kehidupan yang baru bagi pasangan.
Sebagai negara yang memiliki banyak keragaman dari segi agama, suku, dan adat yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia, proses pernikahan ini juga biasanya dimeriahkan dengan mengikuti aspek-aspek tersebut. Banyak pakem-pakem yang sulit diubah atau tidak bisa diubah sama sekali apabila sebuah pernikahan sudah dilakukan dengan norma agama ataupun norma adat, salah satunya banyak terjadi pernikahan dini dan hal tersebut dinormalisasi oleh sebagian orang atau kelompok.
Dalam UU yang mengatur tentang pernikahan, dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila laki-laki dan perempuan sudah mencapai usia 19 tahun. Sayangnya, banyak terjadi praktik pernikahan dini yang secara peraturan dan faktor psikis maupun fisiknya belum siap.
Kini pernikahan dini juga banyak diromantisasi dengan merebaknya penggunaan platform TikTok untuk menyebarkan konten. Banyak pasangan pernikahan dini yang membuat konten pernikahan dini seakan-akan hal tersebut adalah hal yang sah-sah saja dilakukan dan tidak akan berdampak buruk. Padahal, banyak aspek yang perlu diperhatikan sebelum menikah, salah satunya dengan menaati usia pernikahan yang tertera dalam peraturan negara.
Negara mengatur undang-undang tersebut tentu bukan tanpa alasan. Negara mencoba untuk melindungi kesehatan psikis dari calon pengantin, sehingga dikenakan batasan umur untuk melangsungkan pernikahan. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, pernikahan  merupakan awal untuk memulai kehidupan baru. Maka dari itu, kehidupan baru yang akan dijalani oleh pasangan pengantin pun harus dibersamai dengan persiapan yang matang.
Dalam sisi kesehatan, ada batas ideal mengenai aspek biologis dan psikologis dari seseorang sehingga bisa dikatakan matang. Batas ideal usia kematangan tersebut bagi perempuan adalah pada usia 20 hingga 25 tahun. Sedangkan batas ideal usia kematangan pria berada pada usia 25 hingga 30 tahun. Pada rentang usia tersebut, laki-laki dan perempuan sudah diperbolehkan untuk melangsungkan pernikahan dan membangun rumah tangga karena sudah dianggap matang secara biologis dan psikis serta sudah bisa berpikir dewasa secara rata-rata.
Adanya praktik pernikahan dini yang tentunya tidak sesuai dengan batas ideal usia yang telah ditetapkan, akan terjadi banyak dampak buruk. Kesehatan ibu dan anak yang akan terganggu karena kehamilan di usia yang terlalu muda. Terutama saat persalinan berlangsung, persalinan tersebut akan beresiko tinggi terhadap nyawa ibu dan bayi. Dengan terjadinya praktik pernikahan dini, angka kematian ibu dan bayi akan meningkat.
Faktor psikis seperti emosi yang belum stabil pun akan mempengaruhi keharmonisan rumah tangga. Umur pernikahan cenderung pendek karena emosi yang tidak stabil akan memicu pertengkaran dalam rumah tangga. Selain itu, emosi yang belum stabil pun akan mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan.
Selain aspek biologis dan psikis ada aspek lain yang akan terganggu. Aspek tersebut adalah aspek sosiologi. Hal tersebut dapat terjadi karena bisa dilihat secara nyata bahwa pernikahan dini menimbulkan terganggunya penyesuaian diri karena minimnya pengalaman. Selain itu, harmonisasi keluarga yang terganggu juga akan mempengaruhi aspek tersebut.
Aspek sosiologi juga akan dirasakan oleh sang anak. Pola asuh dari orang tua yang minim pengalaman akan mempengaruhi tumbuh kembang anak di masa depan. Belum lagi ketika dampak buruknya adalah perceraian dari orang tua. Sang anak bisa jadi akan merasa terpuruk dan kesehatan mentalnya akan terganggu.
Maka dari itu, dengan banyaknya dampak buruk dari pernikahan dini yang muncul dari tiga aspek tersebut, seharusnya ada langkah yang dilakukan oleh berbagai stakeholders untuk menekan angka pernikahan dini di Indonesia. Upaya-upaya tersebut bisa dilakukan dari lingkungan terdekat, seperti keluarga dan teman.
Dalam prosesnya, keluarga dapat memberikan pemahaman mengenai apa itu rumah tangga dan bagaimana rumah tangga dijalankan dalam lingkup keluarga tersebut. Lingkup keluarga juga dengan pola asuhnya akan dapat menekan angka pernikahan dini karena keluarga yang saling terbuka tidak akan merasa tabu untuk mendiskusikan hal-hal terkait pernikahan dini, termasuk edukasi mengenai pernikahan dan dampak yang akan terjadi.
Selain keluarga, lingkup pertemanan pun dapat mempengaruhi dalam penekanan angka pernikahan dini. Dengan maraknya konten TikTok dan romantisasi pernikahan dini, lingkup pertemanan yang mendukung penyebaran konten pernikahan dini akan berpengaruh dalam meningkatkan keinginan melakukan praktik pernikahan dini. Lingkup pertemanan remaja yang melek informasi dan memiliki kemauan untuk mendapatkan edukasi secara mandiri akan dapat menekan angka pernikahan dini karena kesadaran akan tumbuh di antara lingkup pertemanannya.
Setelah lingkup terdekat yang melakukan upaya untuk menekan angka pernikahan dini, institusi pendidikan dan pemerintah juga dapat terlibat dalam melakukan upaya ini. Institusi pendidikan dan tenaga pendidiknya dapat memberikan edukasi terkait faktor dan dampak pernikahan dini yang harus dihindari. Dengan adanya undang-undang yang mengatur tentang pernikahan, pemerintah juga harus bisa tegas dan tidak menindak atau memberikan kompensasi terhadap praktik pernikahan yang di bawah usia yang telah ditentukan oleh undang-undang.
Bila pernikahan pada umumnya memerlukan pembekalan dan penyuluhan pra nikah, usia-usia remaja pun dengan emosi dan pemikirannya yang belum stabil dalam pengambilan keputusan pun perlu memerlukan pembekalan berbentuk edukasi agar dapat menekan angka pernikahan dini di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H