Mohon tunggu...
Zalfa Farid
Zalfa Farid Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga (20107030066)

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga (20107030066)

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Sering Pura-pura Sakit? Bisa Jadi Alami Sindrom Munchausen!

15 Juni 2021   21:10 Diperbarui: 16 Juni 2021   02:23 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: freepik.com

Siapa nih yang pernah bolos di jam pelajaran sekolah terus ke uks dengan alasan sakit ?. Atau bahkan sampai bolos sekolah sekalian ?. Sebagian dari kita pasti pernah melakukannya, iya nggak ?.

Biasanya nih kita melakukan itu hanya semata-mata untuk menghindari tugas-tugas sekolah. Kalau nggak ya kita emang gasuka aja sama pelajarannya alias malas. Kalian tim yang mana nih ?.

Tapi gimana kalo sebenarnya kita melakukan itu semua untuk mendapatkan perhatian orang lain ?. Yups,dengan berpura-pura sakit untuk membuat orang disekitar kita merasa khawatir dan kemudian memberikan perhatiannya kepada kita? dengan kata lain kita sedang "caper", cari perhatian.

Suka sebel nggak sih, kalo ada orang disekitar kita yang kayak gitu. Kalo nggak ketahuan pura-pura sakit sih kita nggak akan sejengkel itu. Nah, beda cerita kalo udah ketahuan ternyata cuma pura-pura sakit, gimana kita bisa nggak kecewa ?.

Tapi jangan keburu menyalahkan pelakunya ya guys. Biasa jadi dia memang menderita sebuah gangguan kesehatan. Dalam dunia kesehatan, gangguan tersebut merupakan sebuah gangguan mental yang dinamakan sindrom munchausen.

Sindrom munchausen ini membuat penderitanya sering bertindak seolah-olah mereka sakit. Bahkan dalam kasus tertentu si penderita bisa saja melukai dirinya sendiri untuk terlihat jika mereka benar-benar sakit.

Penderita sindrom munchausen ini juga tidak ragu melakukan pemeriksaan ke dokter untuk sekedar memeriksa penyakit "pura-pura" yang dideritanya. mereka juga tidak segan membeli obat dan meminumnya.

Para penderita gangguan ini biasanya menyatakan dirinya memiliki penyakit yang bermacam-macam. Ada yang sekedar mengatakan dia sakit kepala, sakit perut, atau penyakit lainnya yang bisa membuat orang lain iba.

Mereka sangat pintar menjelaskan penyakit "pura-pura" yang dideritannya dengan di bumbui istilah medis yang kita sendiri sebagai orang awam tidak mengerti. Dramatis sekali ya?. Tapi memang ini yang diinginkan penderitannya.

Melihat orang lain bersimpati padanya menjadi suatu kepuasan tersendiri. Mereka percaya bahwa berpura-pura sakit adalah jalan satu-satunya untuk bisa mendapat kasih sayang mulai dari orang terdekatnya hingga orang lain sekaligus. Mereka ingin diperlakukan baik dan diperhatikan, sebagaimana orang-orang memperlakukan orang yang sakit.

Sejauh ini sih belum diketahui dengan pasti apa penyebab sindrom munchausen ini. Namun, para ahli sepakat bahwa orang yang mengidap gangguan mental ini juga memiliki gangguan kepribadian.

Beberapa ahli juga memperkirakan bahwa gangguan ini mungkin saja disebabkan oleh beberapa faktor seperti kurangnya kepercayaan diri, trauma di masa lalu, atau mungkin juga karena sedih yang amat dalam atas kehilangan seseorang yang disayanginya.

Walaupun sampai saat ini belum ada penelitian yang berhasil mencatat jumlah pasti penderita sindrom Munchausen, para ahli dan tenaga medis menyatakan bahwa kasus ini memang jarang sekali terjadi.

Seperti yang dikatakan sebelumnya oleh para ahli yaitu sindrom munchausen ini juga memiliki gangguan kepribadian. Setidaknya ada tiga jenis gangguan yang selalu dikaitkan dengan sindrom munchausen ini.

Yang pertama yaitu antisosial dimana penderitanya senang memanipulasi sesuatu dan merasa dirinya paling hebat karena merasa dirinya punya kekuasaan dan kontrol penuh.

Gangguan kedua yaitu borderline yang membuat penderitanya sulit mengontrol emosinya sendiri. Selain itu mereka juga memiliki dorongan untuk menyakiti dirinya sendiri.

Dan gangguan yang terakhir yaitu narsistik. Narsistik adalah kondisi yang membuat penderitanya merasa dirinya sangat spesial hingga takut jika tidak dihargai.

Penderita sindrom munchausen ini berisiko mengalami masalah kesehatan lain dan bahkan kematian. Kalian pasti bingung dan bertanya-tanya, cuma gara-gara berbohong aja masa bisa sampai menyebabkan kematian ?.  Tentu saja ini mungkin terjadi karena kecenderungan penderitanya yang suka menyakiti dirinya sendiri.

Sindrom munchausen menjadi kondisi  yang rumit dan sulit untuk dapat dipahami. Oleh karena itu para ahli sangat sulit dalam mendiagnosis bahkan mengobati sindrom ini.

Hal tersebut karena penderita tidak menyadari bahwa apa yang dilakukannya merupakan pengaruh gangguan mental. Dan mereka tidak ingin melakukan terapi psikologis.

Padahal gangguan seperti sindrom munchausen ini murni merupakan gangguan mental. Sehingga perlu penanganan dari psikolog atau psikiater.

Tidak ada batasan usia berapa yang akan terkena sindrom munchausen ini. anak-anak, remaja, dewasa, hingga lanjut usia pun tidak menutup kemungkinan mengidap gejala sindrom ini.

Namun memang para ahli juga mengatakan bahwa usia remaja menuju ke dewasa lebih sering untuk melakukan gejala sindrom munchausen. Dan sebagian besar dari mereka memang memiliki trauma di masa lalunya.

Oleh karena itu, pengobatan utama yang bisa dilakukan untuk mengatasi sindrom munchausen memang hanyalah konsultasi pada psikologi. Konsultasi ini dilakukan tentu saja untuk mengubah pola pikir dan perilaku penderita yang suka mencari perhatian dengan menyakiti dirinya.

Biasanya akan dilakukan sesi terapi, dan dalam sesi tersebut terapis akan menggali psikologis pasien yang mungkin menjadi alasan ia suka berpura-pura sakit.

Terapis juga pastinya akan menyarankan pasien dengan sindrom munchausen ini untuk menghindari  hal-hal lain yang dirasa membahayakan bagi pasiennya.

Sayangnya tingkat keberhasilan dari melakukan terapi seperti konsultasi psikologis tersebut dirasa masih kurang. Walaupun pasien rajin menjalani terapi, hal ini sedikit sulit karena penderita yang ingin terus dilihat sebagai orang sakit. Untuk itu, diperlukan pendekatan secara perlahan.

Pendekatan yang dilakukan tidak hanya konsultasi antar pasien saja. Konsultasi juga dapat dijalankan oleh keluarga pasien. Keluarga pasien akan diajari cara untuk menghadapi orang yang sedang berpura-pura sakit tersebut.

Terapis juga akan menyarankan pihak keluarga untuk tidak mendukung ataupun menyalahkan perilaku yang dilakukan si penderita sindrom munchausen secara berlebihan.

Cara tersebut diharap akan membantu penderita agar dapat mengurangi rasa ingin berpura-pura sakit dan menyakiti dirinya sendiri. Karena dengan begitu mereka akan merasa bahwa hanya dengan berpura-pura sakit sudah tidak bisa lagi bagi mereka untuk mendapatkan perhatian orang lain, sebagaimana tujuan utamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun