Hai lagi!
Bagaimana puasamu hari ini? Tak lagi sekadar merasakan haus dan lapar, kah? Jika masih begitu, tak perlu khawatir!
Adakalanya diri kita mampu cepat beradaptasi dengan ritme Ramadan. Namun, terkadang malah susah untuk diajak kompromi. Hiks...
Ketika diajukan pertanyaan padaku: Kenapa bisa begitu? Berpijak pada teori kelirumologi, kali ini kutulis 3 hal yang boleh jadi sebagai argumentum ad momentum, ya?
Pertama: Ramadan dan Seni Beradaptasi
Begini, suka atau tidak suka, secara sadar atau autopilot, saat menjalankan Ramadan kita dihadapkan dengan beberapa perubahan  dalam beragam unsur kehidupan, yang sebelumnya menjadi kebiasaan sebelum Ramadan.
Anggaplah sebagai contoh adalah perubahan pola makan. Di pagi hari terbiasa menikmati sarapan, pada tengah hari makan siang, plus ditutup dengan makan malam. Maka, selama Ramadan, harus ada "pergeseran" dari rutinitas itu, kan?
Semisal pergeseran tentang waktu, jenis dan ragam makanan-minuman, mungkin juga tentang kualitas dan kuantitas menu di meja makan. Mengingat kebebasan untuk makan dan minum berkurang selama 12 -14 jam.
Hal di atas, baru tentang makan dan minum, tah? Belum lagi tentang perubahan pola tidur atau waktu beristirahat, pola serta waktu kerja dan seterusnya. Jika gagal mengatur dan mengikuti alurnya, ada kemungkinan hadir gangguan pada fisik dan psikis, kan? Padahal, kedua hal itu menjadi kunci untuk menghadapi Ramadan.
Kukira, kemampuan beradaptasi pada kebiasaan dan rutinitas keseharian menjadi faktor penentu untuk menjalani Ramadan.