Terkadang, Ramadan tak hanya menahan diri dari lapar dan haus, kan? Tetapi juga menahan diri dari perilaku sia-sia (mubazir).
Ketiga. Ramadan dan Seni untuk Bertahan.
Izinkan, pada poin ketiga ini, kupinjam dari kamus Art of War milik Tsun Zu. Salah satu kredo Panglima perang Tiongkok itu adalah:
"Jika kekuatan pasukanmu sedikit, maka susunlah pertahanan. Pemilik kemampuan untuk bertahan, berpeluang besar memenangi pertempuran."
Bulan Ramadan adalah ruang berlatih untuk menemukan seni bertahan. Puasa tak lagi sebagai ajang pertempuran dari rasa lapar dan haus atau menahan dan menata hawa nafsu. Tapi lebih dari itu!
Para istri mesti bertahan dari kantuk dan letih, kerena selama satu bulan mesti terjaga dini hari serta sorenya sibuk di dapur, agar anggota keluarga bisa menikmati sahur dan berbuka agar mampu menjalankan ibadah puasa dengan baik.
Para suami, bersiap untuk memastikan asap dapur selalu ngebul. Plus berpikir dan berusaha keras menyediakan dana ekstra untuk menu berbuka dengan aneka takjil bagi keluarga tercinta, di luar anggaran pengeluaran bulanan.
Anak-anak mesti bertahan dari rasa lapar, haus, letih atau rasa kantuk, ketika harus berjibaku dengan rutinitas dan tugas-tugas sekolah. Sebagai wujud cinta agar tak mengecewakan atas jerih payah orangtua.
Begitupun para pekerja di bidang jasa dan barang. Mereka dituntut untuk bertahan sebagai atasan maupun bawahan dengan tuntutan pekerjaan sembari menjalankan ibadah puasa. Tak jarang, malah kesibukan semakin bertambah di momentum Ramadan!
Susah? Pasti! Makanya, butuh sebulan latihan intensif! Dan Ramadan setiap tahun selalu ada, kan?
Akhirnya....
Begitulah! Ada banyak ruang bagi kita untuk memaknai Ramadan dengan cara dan menurut pemahaman diri masing-masing.