"Begitulah! Akhirnya, bendera di hotel Yamato tinggal dua warna. Merah dan putih!"
Tampak wajah-wajah lega memenuhi Balai Agung. Namun masih tanpa suara. Di antara mereka, hanya saling bertukar pandang, ada juga yang mengangkat kedua lengan seraya memamerkan otot layaknya superhero.
Di pojok kanan barisan yang duduk paling belakang, mata si Ragil, sejak tadi tak henti menatapku.
Kulempar pandang pada seorang anak perempuan berpakaian putih merah yang duduk di barisan paling depan. Kuajukan ibu jari tangan kananku, sambil anggukkan kepala.
Satu tepukan kencang tiba-tiba memecah suasana. Dimulai dari pojok kanan barisan paling belakang. Kemudian menular ke bagian tengah, hingga terdengar gemuruh tepuk tangan dari anak-anak.
Tepuk tangan pertama, setelah tigapuluh menit berlalu, dan kusudahi kisah pertamaku.
"Ada yang berani melakukan seperti para pejuang itu?"
Tak ada sahutan. Berpasang-pasang mata beredar di sekitar Balai Agung. Mencari tahu sosok pemberani di antara mereka. Kutunggu dua menit. Tak ada suara atau jari telunjuk yang mengudara.
"Mereka berani mati! Sebab, warna merah dan putih itu bukan hanya warna bendera, tapi harga diri! Mereka bersedia serahkan nyawa untuk kehormatan negara!"
Balai Agung kembali hening. Kurasakan, nada suaraku terdengar keras dan bergetar. Wajah anak perempuan yang kuberikan ibu jari tadi terlihat beku. Sudut mataku, menangkap sosok si Ragil yang bergerak pelan ke pojok kiri. Masih di barisan belakang.