"Mas masih ingat Mbok Surti?"
"Tetangga Ibu, kan? Yang jualan...."
"Iya. Lontong pecel."
"Mbok Surti kenapa?"
Malam baru menginjak pukul sepuluh. Kamar tidur membeku. Bisu. Kualihkan mataku dari layar laptop di hadapku. Aku menatapmu. Menunggu. Matamu menatap pintu. Menjauhkan wajahmu dari tatapanku.
Tak butuh waktu lama. Gerak perlahan bahumu sudah memberi tahu. Ada tangismu malam itu.
"Tadi, aku dapat kabar. Mbok Surti meninggal di Musalla. Saat salat tarawih."
"Innalillahi. Semoga beliau husnul khatimah. Pergi di bulan Ramadan."
"Amiin..."
Lagi. Bisu kembali bertamu di kamar tidur. Sejak pandemi, kau dan aku mulai terbiasa menghadapi kabar duka. Berita kehilangan datang silih berganti. Dan, satu-satu persatu orang-orang yang dikenal dan dicintai pergi. Tak akan pernah kembali.
"Tapi Marni tak bisa pulang, Mas!"
Kau perlihatkan layar ponselmu. Memintaku membaca percakapanmu dengan Marni. Anak Mbok Surti.
"Marni masih di Jepang?"
"Masih. Kan, sudah menikah dengan orang sana?"
"Oh!"
"Kasihan, Mas! Padahal Marni..."
Suaramu terhenti. Berganti bulir bening yang mewakilkan segenap rasamu. Dan aku mengerti. Kali ini, sebaiknya kubiarkan isak tangis tertahanmu menguasai kamar tidur.
***
Sudah dua hari berlalu, sejak berita duka itu. Dan, sudah dua hari pula, hariku dipenuhi ceritamu tentang Mbok Surti dan Marni.