Bagimu, Marni tak hanya anak tetangga dan teman bermain di masa kecilmu, juga teman sekelasmu sejak SD hingga SMA. Namun lebih dari itu. Sepertimu, Marni adalah satu-satumya anak Mbok Surti.
"Marni masih menyesal tak bisa pulang, Mas!"
"Bisa dimengerti. Namun, tak sesiapapun menginginkan situasi seperti saat ini, kan?"
Tangan kirimu meletakkan ponsel ke atas meja kecil di sudut tempat tidur. Sesaat kau menatapku. Kemudian memalingkan wajahmu ke pintu kamar. Namun, jemari tangan kananmu menggenggam erat jemari tangan kiriku.
"Iya. Marni bilang, andai saja..."
Kau memilih tak menyelesaikan kalimatmu. Dari ceritamu dulu, aku jadi tahu. Setelah menikah, Mbok Surti sempat diajak ke Jepang. Tinggal bersama Marni. Sebab Marni tak mungkin tinggal terpisah dari suami. Namun, hanya bertahan tiga bulan.
Bukan saja permasalahan berbeda budaya. Tapi perubahan cuaca di Jepang tak cocok untuk tubuh tua Mbok Surti. Hingga kemudian meminta pulang ke kampung. Dan memilih hidup sendiri.
"Itu pilihan Mbok Surti, kan? Selain itu, Mbok Surti pasti tak menginginkan Marni hidup terpisah jauh dari suaminya, tah?"
"Iya. Mbok Surti sangat menyayangi menantunya."
Kulihat segaris senyuman di sudut bibirmu. Tiba-tiba lenyap di bahu kiriku. Kemudian hening.
"Aku tak mau menyesal seperti Marni, Mas!"
Pelan, dan perlahan. Liang telingaku mampu merengkuh ucapanmu. Rasa hangat di bahu kiriku menjadi penanda. Pembicaraan malam ini sudah bertukar arah. Tentangmu.
***
"Terima kasih, Mas!"