Pagi tadi. Ruang kelas sunyi tapi tidak sepi. Wajah-wajah beku menanti. Di bangku kayu. Tubuh-tubuh kaku duduk menunggu.
"Satu!"
Satu wajah sumringah berdiri. Tak lupa menyapa wajah jengah kanan dan kiri. Butuh sedikit waktu. Kemudian menghilang di balik pintu.
"Dua!"
Satu wajah ramah berdiri. Tak perlu lagi duduk antri. Menyisakan anggukan ringan ke barisan bangku. Sebelum menghilang di balik pintu.
"Lima!"
"Sebelas!"
"Duapuluh sembilan!"
Satu persatu, tubuh-tubuh lesu menjauh dari bangku. Bergantian wajah-wajah jemu menghilang di balik pintu. Tersisa satu wajah. terbiasa memetik gundah.
"Saya..."
"Maaf. Apakah tadi sudah bertemu..."
Barisan kata di ruang kepala masih merekat di kepala. Deretan angka dari bendahara masih melekat di telinga.
Iuran bulanan, angsuran awal tahun, tabungan mingguan, sumbangan perpisahan, uang beli buku. Uang ini, uang itu. Rapor ini ....
Di halaman sekolah. Hujan membasahi tanah. Langkah kaki bergerak menjauhi gerbang. Hati bernyanyi membujuk bimbang.
Uangi uangu
Uang ini, uang itu
Uangi uangu
Uang kini, uang dulu
Uangi uangu
Uang kami, uang kamu
Uangi uangu
Kami, kamu
Kita?
Curup, 18.12.2021
Zaldy Chan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI