I/. Pukul 18.36 WIB.
Bertemu dengan lelaki itu, aku tak ingin malu. Dua kakiku berlari menuju lemari baju. Dua tanganku bergantian memilah celana dan memilih kemeja.
"Dengan atau tanpa celana, saya akan tetap menulis puisi."
Kubiarkan senja tertawa melihat kain sarung, kaos oblong, dan kupluk usang tergeletak di atas kasur. Kuabaikan pertanyaan manja senja yang berputar di kamar tidur: Kau melupakanku?
II/. Pukul 18.49 WIB.
Sebuah pulpen berwarna hitam, sebatang pensil yang telah diraut tajam, tiga lembar kertas buram telah kusiapkan. Sudah dua hari, aku berlatih di depan cermin. Satu pidato perkenalan dan dua panduan pertanyaan:
"Terima kasih. Aku dari hutan. Suatu kehormatan, akhirnya bisa bersua langsung dengan Anda. Dan, Aku belum lupa cara memakai celana."
Aku ingin mengajukan dua pertanyaan:
"Pertama, Bagaimanakah cara Anda menemukan makna dari kata tanpa mengada-ada?"
"Kedua, Pernahkan Anda berpikir jika puisi yang Anda tulis bukan puisi? Mungkin pertanyaan ini tak perlu dijawab."
III/. Pukul 19.03 WIB.
Kutinggalkan pintu rumah. Mencari persembunyian sinyal yang lemah. Berharap berjumpai isyarat jaringan yang menjamah ramah. Tak mudah! Aku sungkan menggunakan kata: Susah!
Atas nama lelaki itu, kupilih kata pasrah. Aku menyerah? Entahlah!
IV/. Pukul 20.11 WIB.
Tanganku masih menggenggam telepon genggam, yang mungkin enggan kugenggam. Di bawah langit malam dengan mata terpejam, kubayangkan Joko Pinurbo memulai pembicaraan:
"Selamat datang. Saya sudah menyiapkan semua yang akan saudara rampas dan musnahkan: kata-kata, suara-suara, atau apa saja yang saudara takuti tapi sebenarnya tidak saya miliki."
Aku terdiam. Mengusap asa yang lebam.
Curup, 16.11.2021
Zaldy Chan
Catatan:
Dicetak tebal adalah kutipan kalimat Joko Pinubo.