I/.
Matamu terpejam. Sesaat mengabaikan gulir waktu larut di antara hening malam. Aku masih bergumam sengau, merapal tembang pengusir risau.
Tapi tangismu tak sabar menjemput pagi. Dan, kembali kugumamkan lirik sepi yang tak pernah usai.
Kau terlelap dalam senyap. Namun, lelahku tak sempat lenyap.
II/.
Kau tertawa. Menafikan terik siang yang menggigit raga. Aku menghitung bayang diri, agar tak tertatih mengejar matahari.
Hingga kau temui senja. Akupun bersiap melunturkan garis-garis rasa, yang kau arsir dengan tanda tanya.
Tak lagi ada nyanyian sengau pengusik risau. Tak lagi ada lirik lirih pengusir letih. Dan, tak jua kutemukan bingkai kata. Hanya doa.
Kau terlelap menyimpan cerita. Aku terlelap menelan airmata.
III/.
Kubiarkan kau tersenyum merakit angan. Aku hanya mampu menatapmu di kejauhan.
Sebelum senja enggan menjumpai malam. kutitipkan sajakku. Untukmu.
kepadamu,
tak akan kusembunyikan airmata
tika cara kembali bermakna luka
tak pernah kuhentikan asa
jika pintu pintaku bersisa doa
tak ingin kusiapkan lupa
hingga gulir waktu tak lagi bermuara
Curup, 11.11.2021
Zaldy Chan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H