Moko Gali ingat malam itu. Tepat pada malam ketiga setelah kematian Ayahnya, orang dari kelurahan menawarkan Moko Gali sebagai penggali liang kubur.
Dan, tak ada alasan yang paling masuk akal, selain menerima tawaran itu dengan nenggantikan ayahnya. Namun, Moko Gali mengajukan syarat yang langsung disetujui pihak kelurahan.
***
Sejak Moko Gali resmi menjadi penggali kubur, tempat pemakaman itu terlihat rapi. Di sekeliling area pemakaman ditanami pohon pepaya yang dijadikan pagar hidup. Di sela-sela makam, ditumbuhi cabai rawit.
Awalnya, hal itu ditentang banyak orang. Namun, akhirnya diam dan menikmati. Karena Moko Gali membiarkan siapapun untuk mengambil dan menikmati buah pepaya dan cabai rawit itu. Asal tidak untuk dijual, dan batangnya tidak dirusak.
Perselisihan juga sempat terjadi, karena bila ada panggilan menggali kuburan, Moko Gali akan langsung membuat dua liang kuburan.
"Itu lubang cadangan. Jika mendadak, tak perlu menunggu. Pemakaman bisa disegerakan!"
Seperti halnya pertentangan pohon pepaya dan cabai rawit, perselisihan itu hilang, setelah Mang Amin, marbot mushala yang hidup sebatang meninggal selepas isya. Karena tak mungkin jenazah dibiarkan di mushalla sambil menunggu pagi, maka malam itu juga dilakukan pemakaman.
Ketika warga bersama-sama menimbun tanah untuk menutupi jenazah Mang Amin di lubang yang sudah ada. Moko Gali kembali menggali lubang  baru sebagai cadangan. Sendirian.
***
Sudah tujuh bulan, lubang cadangan yang berada di sebelah makam Mang Amin itu tak pernah digunakan. Sejak pandemi, semua warga yang meninggal dimakamkan di tempat khusus. Dengan petugas khusus, serta alat-alat dan perlengkapan khusus. Lokasinya, jauh dari tempat tinggal Moko Gali.
Tujuh kali pula, Moko Gali didatangi petugas kelurahan, yang mengantarkan uang yang disebut uang tunjangan covid.
"Kau tolak lagi?"