"Tanaman ini juga butuh makan. Makanannya dari sampah, kemudian menjadi kompos, Nak!"
"Tumbuhan makan sampah?"
"Bagi kita sampah, untuk mereka itu makanan!"
Moko lebih memilih diam, agar ayah tak lagi bicara. Kemudian membayangkan wajah ngeri ibu yang takut cacing. Bekas lubang sampah itu banyak cacing. Setiap hari, ibu memetik cabai, sayur dan tomat untuk dibawa ke dapur. Namun, tidak pernah kabur.
***
"Gali di sini saja. Ingat, cukup satu! Tapi yang dalam."
Suara Pak Zul terdengar tegas dan jelas. Tangan kiri guru olahraga itu melekat erat di pinggang. Jari telunjuk tangan kanannya menunjuk acak pada tanah di belakang kantor kepala sekolah. Moko tak akan menghitung, berapa kali lagi harus menggali lubang.
Rumus Pak Zul hanya dua. Rumus pertama, hukuman bagi siswa yang melanggar aturan adalah menggali lubang sampah. Pelanggaran Moko adalah, ayahnya belum melunasi pakaian seragam olahraga.
Membayar iuran sekolah tepat waktu menjadi hal yang memberatkan, bagi ayah Moko yang dikenal sebagai penggali liang kuburan. Karena alasan itu, nyaris semua orang yang mengenal Moko, akan memanggilnya dengan sapaan "Moko Gali".
Rumus kedua, setelah memerintahkan menggali lubang, Pak Zul akan kabur. Karena percaya, lubang hasil galian Moko Gali selalu rapi. Selain itu, Pak Zul tahu, ia pasti membuat dua lubang untuk sampah. Seperti ajaran ayah.
Rumus yang sama, juga digunakan Ibu Yeti guru BP ketika di SMP. Akibat laporan wali kelas yang menganggap menantang wali kelas berkelahi. Saat itu, Moko Gali merasa dipermalukan di depan kelas, karena ditagih paksa membayar iuran bulanan kelas.
Terakhir Pak Rusdi. Kepala Sekolah saat Moko di SMA itu, meminta Moko Gali membuat lubang sampah di rumah, sebagai syarat agar mendapat kartu ujian.
***
Moko Gali pernah bercita-cita untuk kuliah. Ia ingin mewujudkan keinginan ayahnya, menjadi sarjana pertanian. Agar tanah-tanah kosong dipenuhi beragam tanaman dan aneka tumbuhan, bukan bangunan.
Namun, dua tahun lalu, cita-cita itu mesti mati. Seperti ayahnya.