"Kau gali satu, Aku satu!"
Moko meraih cangkul kecil yang diulurkan Ayahnya. Ritual menggali lubang sudah dilakukan Moko sejak kedua telapak tangannya mampu mengenggam gagang cangkul.
Lubang seukuran dua langkah kaki itu, digali tidak terlalu dalam. Moko hanya mampu menggali setinggi lutut ayahnya. Lubang buatan ayah, dalamnya setinggi pinggang Moko.
Setiap tahun, Moko menggali dua kali. Tempat lubangnya selalu berpindah, sesuai arahan ayah. Mungkin, hampir semua tanah pekarangan di halaman belakang rumah, pernah digali.
Lubang galian Moko yang tidak begitu dalam, dijadikan tempat pembuangan berbahan plastik. Kantong kresek, bekas bungkus gula, mi instan hingga bungkus deterjen dan botol serta gelas bekas air mineral. Khusus pecahan beling, dititipkan ayah di bak sampah di depan kantor kelurahan.
Gegara isi lubang galian yang dibuat ayah, yang membuat Moko betah bermain di pekarangan belakang.
Hampir setiap pagi, Ibu memintanya membuang sisa nasi, potongan sayuran, hingga kotoran si Meong. Sesekali Moko membawa cacing sebesar jari keliking, dan tertawa geli melihat wajah ibu yang bergidik ngeri.
Khusus hari minggu sore, Ayah meminta Moko mengisi lubang itu dengan daun rambutan yang gugur dijatuhkan angin, atau rumput liar yang selalu tumbuh di pekarangan. Ayah tidak takut cacing. Malahan mennyuruh Moko mencari cacing untuk dimasukkan ke dalam lubang galian.
"Biar sampah ini jadi kompos!"
"Kompos itu apa, Yah?"
"Pupuk, Nak!"
"Pupuk itu..."
Hanya satu kali Moko bertanya. Saat itu, sambil merangkul bahunya, ayahnya langsung mengajak Moko melihat bekas lubang galian yang sudah ditimbun dan ditanami cabai, daun bawang, tomat serta beberapa sayuran.