Lelaki berusia sembilan puluh tiga tahun itu tersenyum. Mataku kembali melihat kedua tangan kakek yang kembali bergetar hebat. Kali keempat menjelang senja, sebuah mobil ambulan melaju kencang. Sirenenya meraung-raung. Dan, menghilang dari pandangan.
***
"Sirene sialan!"
Lontaran itu sudah menjadi ritual di waktu magrib bulan ramadan. Kakek akan menggerutu sambil meraih menu berbuka yang tersedia di atas meja. Berusaha keras menata tangannya yang bergetar hebat, agar makanan bisa dimasukkan ke mulut. Dan, mata ibu pasti menatapku meminta untuk diam.
Â
Aku pernah menebak-nebak dalam hati, manakah yang lebih dulu dilakukan kakek. Membaca doa berbuka puasa atau memaki  bunyi sirene?
 "Apakah semua kulit sapi habis dikonsumsi, sehingga tak lagi ada beduk di masjid?"
"Beduk dianggap kuno, Kek!"
"Kenapa harus diganti sirene? Kan, bisa juga membaca doa berbuka puasa, jika niatnya..."
Jika kakek sudah melontarkan pertanyaan seperti itu, aku dan ibu akan memilih membisu. Membiarkan suasana berbuka diwarnai kisah-kisah masa lalu.
Kakek pernah membandingkan kehebatan bunyi kentongan yang terbuat dari bambu tua, dengan jenis bunyi pukulan yang berbeda-beda. Setiap rumah akan punya, sebagai cara mengabarkan bahaya atau tanda berduka.