Selain berita gempa, belum lagi ada yang menarik minatku perihal perubahan cuaca. Juga tentang pergantian musim.
Hari ini, matahari baru bergerak sepenggalan. Setengah hariku sudah menghabiskan empat musim di jalanan.
I/.
Pagi tadi, hujan mengganti kabar angin dengan dingin. Orang-orang menamai musim hujan. Dengan kenyataaan tak terbantah, butiran tak henti tercurah.
Aku lebih suka menyebutnya musim yang basah. Ketika ucapan pasrah dan ujaran menyerah bertikai pada rasa salah.
II/.
Berjarak seratus meter dari rumah, roda motorku menepi dari tiang-tiang tenda yang terpasak di tengah jalan. Orang-orang menyebutnya acara pernikahan.
Aku lebih sepakat dengan sebutan musim kawin, seperti julukan musim durian atau musim rambutan. Sebab isi kepala, isi kantong, dan isi amplop harus sudah berdiskusi sejak jauh hari.
III/.
Baru sepuluh menit memacu kendaraan, dua kali kutemukan kerumunan di pinggir jalan. Dua bendera berwarna kuning dari bahan berbeda, lebih dari cukup menjadi penanda. Sedang bertamu duka yang mendalam, tapi tidak berseragam hitam-hitam.
Orang-orang menyebutnya berita kematian, babak akhir dari cerita dan derita kehidupan. Aku memilih sebutan kepergian yang bermula dari kelahiran. Sebab, cepat atau lambat akan kembali. Atau musim kesedihan? Setidaknya dalam ingatan, atau kenangan.
IV/.
Hujan belum reda, perjalanan harus tertunda. Aku belum sempat memutuskan musim yang keempat.
Harusnya:
Ketika ramadan, ada musim petasan. Saat lebaran ada musim maafan. Jika ada angin kencang adalah musim layangan. Bila ada yang licik, ada musim paceklik. Kecuali pesta narkoba, tak mungkin disebut musim pancaroba.
Awal melihat lalu lalang orang dengan wajah terpasang penghalang, akalku ingin segera memberi nama musim korona.
Tapi kutemukan pertanyaan di hati: Bukankah yang disebut musim harusnya berganti?
Curup, 16.06.2021
Zaldy Chan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H