Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Mungkinkah Bahasa Indonesia Mulai Usang dan Terasing?

10 Juni 2021   22:58 Diperbarui: 10 Juni 2021   23:32 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika menilik keberadaan Bahasa Nasional. Bangsa Indonesia sungguh beruntung memiliki Bahasa Indonesia.

Dalam kajian sejarah, bergantian bangsa asing "menduduki" Nusantara. Portugis, Inggris, Belanda terakhir Jepang, "gagal memaksakan" bahasa mereka sebagai bahasa ibu, yang kemudian menjelma menjadi bahasa nasional.

Ketika menikmati perjalanan sejarah ke kawasan negara-negara Amerika Latin, bahasa nasional mereka didominasi bahasa Spanyol.

Saat menjejakkan kaki ke kawasan Afrika Utara dan Selatan. Penguasa Bahasa Spanyol, Prancis dan Inggris akan mudah melakukan komunikasi.

Amerika yang mengaku adidaya pun tak bisa mengelak dan harus pasrah jika Inggris masih "menjajah" mereka dalam hal bahasa. Walau dalam perkembangnya agak berbeda, setidaknya dalam hal aksentuasi.

Ke benua Asia, dan mendekatkan jarak perjalanan sejarah keberadaan bahasa nasional, India memutuskan bahasa Inggris dan Hindi sebagai bahasa nasional. Yang sempat memicu konflik internal pengucap bahasa Tamil dan Telugu.

Negara tetangga? Filipina punya Tagalog namun didampingi bahasa Spanyol. Malaysia juga kesulitan menetapkan Melayu sebagai bahasa nasional. Kerena berhadapan dengan penutur dari Cina dan India. Bahasa Inggris dipilih menjadi jalan tengah.

Dengan alasan, "pendudukan" yang dianggap singkat, Inggris, Portugis dan Jepang  di Indonesia, mungkin tak sempat melakukan tahapan menjajah secara bahasa.

Berbeda halnya dengan Belanda yang katanya menjajah tiga setengah abad, kan? Ratusan tahun berkuasa, tapi tak bisa memaksakan bahasanya menjadi bahasa tuturan hingga saat ini, tah?

Pada titik ini juga, aku sempat menyesali. Kenapa Belanda hanya konsentrasi menjajah mental anak bangsa, dan kekayaan alam Nusantara, namun "lupa" menjajah bahasa?

Aku pernah kesulitan "mengunyah" agihan materi Bahasa Belanda yang 2 SKS itu sebagai mata kuliah wajib! Gegara material hukum masih didominasi aturan era kolonial?

Bayangkan, jika bahasa Belanda menjadi bahasa Ibu? Maka materi kodifikasi hukum yang berpijak pada hukum negara asal (penjajah) akan mudah dipahami! Apatah lagi jika bisa casciscus bahasa Inggris dan Prancis!

Sehingga, dulu aku sempat punya kesimpulan absurd. Negara yang pernah dijajah Prancis, Spanyol atau Inggris akan pintar dan maju. Kalau dijajah Belanda akan sebaliknya!

Ilustrasi komunikasi (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi komunikasi (sumber gambar: pixabay.com)
Mungkinkah Bahasa Indonesia Mulai Usang dan Terasing?

"Kegagalan" penjajahan di bidang bahasa itu, bisa dilihat dari "mulusnya" hasil Sumpah Pemuda 1928, berlanjut dalam semua Konstitusi (UUD) yang pernah berlaku. Terakhir, diperkuat dalam UU No. 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara.

Jika Bahasa dimaknai sebagai alat mengekpresikan keinginan dan mengidentifikasi dalam interaksi, maka bahasa Indonesia kukira telah berhasil melakukan itu.

Apatah lagi, bila dikaitkan dengan kekayaan suku, luas wilayah, dan ragam bahasa daerah yang ada.

Bahasa Indonesia menjadi "jembatan komunikasi"! Bak sekapur sirih bagi orang Minang yang merantau ke Kupang, orang Palembang yang bertugas di Lumajang, atau teman-teman dari Papua yang bersekolah di pulau Jawa.

Bahasa Indonesia damai dan leluasa hidup berdampingan dengan bahasa daerah. Jika pun ada kendala, terkadang hadirkan tawa. Karena bahasa yang sama, pengucapan yang sama, namun memiliki makna berbeda.

Semisal artikel yang ditulis oleh Mbak Siti Nazrotin, ternyata Punten adalah jenis makanan di Blitar. Kata itu berbeda makna dan jenis jika di kalangan pemakai bahasa Sunda, kan?

Sebaliknya, jika di Garut disebut dodol. Di beberapa daerah disebut jenang. Di kampungku, jenang adalah sebutan buat orang-orang yang khusus menyusun hidangan saat acara kenduri. Tuh, beda lagi, tah?

Dalam bingkai kebhinekaan, maka kekayaan bahasa daerah dan kemampuan bahasa Indonesia menjadi jembatan komunikasi antar anak bangsa, menjadi hal yang istimewa.

Bahwa sesungguhnya, kita memiliki potensi akar bahasa yang luar biasa! Hanya, acapkali terlupa pada potensi itu.

Ilustrasi ragam media (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi ragam media (sumber gambar: pixabay.com)

Aku jadi ingat saran seorang penikmat bahasa dalam sebuah diskusi liar, "Coba cari dan lihat kata kacau dan teratur dalam Tesaurus, kau akan tahu!"

Guna menutupi rasa penasaran, kulakukan saran itu. Membuka Tesaurus dan mengulik kata kacau dan teratur. Hasilnya?

Untuk satu kata kacau, kutemukan banyak persamaan kata. Seperti baur, campur-aduk, kacau-balau, bancuh, berantakan, acak-acakan, awut-awutan, dan simpang-siur. Belum lagi termasuk kisruh atau keruh yang sering kubaca.

Bagaimana dengan kata teratur? Terdapat makna : keharmonian, sistematis, koheren, apik, runtut, keseimbangan. Tiga kata  pertama, serapan dari bahasa asing. Anggaplah termasuk makna tertata dan tertib.

Kesimpulan awalku? Kata kacau lebih hidup dan lebih berkembang di masyarakat, dibandingkan kata teratur yang butuh kata serapan bahasa asing.

Aku belum cukup peluru, jika menggunakan kesimpulan itu pada pakem, "Bahasa adalah jati diri Bangsa".

Atau, mungkinkah Bahasa Indonesia sudah dianggap usang, jika dibandingkan bahasa asing? Sehingga keteteran menjadi Identitas nasional anak negeri?

Aih! Ini hanya setitik renungan sesat di hari media sosial! Hiks...

Curup, 10.06.2021
Zaldy Chan
[Ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun