Kedua, sejak pertama kali hadir, ia bukan selayaknya teman. Kehadirannya membuatku tertekan saat menulis, bahkan membuatku terbeban. Ia memaksaku melakukan sesuatu yang sudah lama kutinggalkan. Berpikir.
Sial bagiku. Entah bagaimana, sepuluh jemariku lebih patuh pada perintah suara di kepala!
"Kau tak menyukaiku?"
"Aku mencoba ..."
"Tak hanya tulisan! Alasan membenci pun, kau bertele-tele!"
"Tapi ..."
"Fokus!"
Duk!
Tanpa kuduga. Dahiku sudah beradu dengan meja kayu. Ini kali pertama, suara di kepala melakukan kekerasan padaku.
Perlahan, kurasakan perih menggigit pelipis mata kiriku.
***
"Apa alasanmu memilih judul itu?"
Azan asar baru saja menjauh dari telingaku. Suara di kepala kembali datang bertamu. Aku tahu, pertanyaan itu tak butuh jawabanku. Kupilih menunggu.
"Tulisan harus logis! Walaupun fiksi."
"Pesan puisi itu ..."
"Aku tahu! Tapi pembaca butuh itu."
"Aku hanya ..."
"Kau egois!"
***