Tak lama. Dengan wajah yang kembali terlihat tenang, istriku berjalan pelan membawa piring plastik berwarna merah jambu dari arah dapur. Kemudian berjongkok sambil meletakkan piring itu di hadapan si Belang tiga.
"Kasihan, Mas!"
Kalimat yang persis sama. Enam bulan lalu, kudengar dari mulut istriku. Pagi itu, istriku menemukan si Olens di depan pintu. Terbaring ringkih dengan tubuh kurus dan penuh kudis.
Tak butuh waktu lama, Olens segera menjadi primadona anak-anak tetangga. Nyaris setiap sore, kudengar celetukan mulut-mulut mungil itu berkicau. Â
"Endut, ya? Seharusnya diberi nama Gemoy, bukan Olens, Tante!"
"Bulu ekornya panjang, ya? Cantik!"
"Olens lucu! Kalau si Belang..."
***
"Mas! Tetangga sebelah mau bangun apa?"
"Bilangnya, rehab kamar mandi."
"Mas mau mintakan pasir untuk si Olens? Sedikit aja. Sebab..."
Begitulah. Kehamilan Olens, tak hanya mengubah perutnya semakin hari semakin membesar. Tapi juga membawa perubahan besar bagi penghuni asli di rumah. Termasuk aku. Apalagi istriku!
Si Belang Tiga sudah menetap di rumah. Perilaku calon ayah dari anak-anak yang berada di dalam kandungan si Olens itu, juga berubah. Tak lagi jadi pencuri. Ia menjadi pejantan sejati yang mengawal ke mana pun si Olens pergi.
Hari minggu lalu, nyaris setengah hari, aku bersusah hati menyulap kardus bekas kotak televisi menjadi kandang. Butuh setengah hari lagi, menemani istriku bersenang hati, berkreasi menciptakan istana untuk pasangan kucing yang masih menjalin hubungan tak resmi.
"Mas juga harus tahu ini!"
Kubaca pesan singkat di ponselku. Pesan itu dari istriku. Padahal, tubuhku dan tubuh istriku hanya dipisahkan oleh satu bantal guling.
Kulihat istriku tersenyum sambil menatap layar ponsel di tangannya. Tak sampai hitungan detik, berturut-turut dering pesan masuk kembali berbunyi. Bukan hanya satu, tapi sembilan pesan! Aku berusaha keras menahan tawa.
"Itu tautan cara merawat kucing, Mas! Saat hamil, sesudah melahirkan, dan cara..."
"Iya. Nanti Mas baca."
"Jangan bilang cuma kucing!"
"Iya, cantik!"