Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Perjodohan? Tak Masalah Bila Ada Akumulasi Rasa dan Asa

22 Mei 2021   18:28 Diperbarui: 24 Mei 2021   11:06 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dua. Akumulasi rasa dan asa adalah cinta (sumber gambar: pixabay.com)

"Cara mencintai paling rahasia, adalah menitip doa!"
"Kan, dia gak tahu, Bang!"
"Makanya, ketika berdoa gunakan share loc!"

Anggaplah kali ini, aku sedang menggunakan rumus holisme. Menyikapi suatu masalah sebagai kesatuan utuh.

Apatah lagi ketika terlibat diskusi dengan seseorang perihal cinta. Yang bermetamorfosis menjadi jodoh dan kemungkinan menjejaki jenjang pernikahan.

Aku tidak dalam ranah becanda, ketika menggunakan kalimat share loc, seperti tuturan dalam percakapan di atas. Kukira, generasi milenial lebih mengerti fungsi dan manfaat Share loc dalam keseharian, tah?

Biar jelas tujuan angan, juga kepastian ingin. Agar semua pinta tak tersesat pada pintu-pintu tak bernama.

Secara sengaja atau tak sengaja, aku acapkali terlibat sebagai pihak ketiga (mak comblang?) pada sebuah pernikahan. Dan, itu butuh totalitas!

Biasanya, aku akan mengajak diskusi pada para pihak secara terpisah. Agar perjodohan itu bisa terwujud.

Bukan dengan formula khusus yang diraih dari pertapaan, tak pula teori konspirasi Negeri Kincir Angin Para Dewa layaknya novel Sydney Sheldon.

Namun, jalan datar yang bisa dilalui semua aktivis pencari dan penanti jodoh. Ketika ingin menentukan perjodohan otonom (memilih sendiri) atau butuh bantuan pihak ketiga. Aku tulis, ya?

Ilustrasi dua. Akumulasi rasa dan asa adalah cinta (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi dua. Akumulasi rasa dan asa adalah cinta (sumber gambar: pixabay.com)
Perjodohan? Tak Masalah Bila Ada Akumulasi Rasa dan Asa

Bagiku. Saat menentukan jodoh, mesti memiliki Rasa dan Asa. Keduanya menjadi persyaratan untuk mewujudkan cinta. Walau baru tumbuh sedikit, tak masalah. Tapi ada. Jika hanya memiliki salah satu, lupakanlah!

Pernah mendengar pasangan yang mengaku saling mencintai? Setelah sekian tahun menjalin hubungan, akhirnya putus? Muara jawaban paling simpel, "Belum jodoh!"

Apa yang salah dengan jodoh? Asumsiku, bisa saja pada awalnya, mereka memiliki rasa yang lekat dan asa yang pekat. Namun, seiring waktu, ada rasa yang memudar. Atau malah asa yang perlahan mengabur. Akhirnya, cinta apalagi jodoh, diam-diam terkubur.

Kasus lain? Pasangan yang telah menikah sekian tahun, memiliki sekian anak, kemudian memutuskan bercerai? Alasan sederhana yang biasa didapatkan, adalah "Tak ada lagi kecocokan!"

Apakah mereka tak berjodoh? Apatah jodoh hanya sebatas jenjang pernikahan? Kukira tak segaris batas itu, tah?

Kemungkinannya? Sama seperti pasangan di awal tadi. Ketika rasa, katakanlah rasa sayang, sudah mulai nirmakna. Atau, harapan-harapan saat mengayuh biduk pernikahan berujung hampa. Pada situasi seperti itu, tak lagi ada kata cinta.

Sebab, cinta akan berwujud jika ada akumulasi rasa juga asa. Dan, kekuatan doa menjadi pengikatnya.

Ilustrasi pasangan (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi pasangan (sumber gambar: pixabay.com)
Mengikat jodoh? Gunakan Ukuran Segelas Air Minum!

Jika selesai urusan rasa dan asa, maka jenjang berikutnya adalah mengikat jodoh. Sebagai tamsilan, kupilih Ukuran Segelas Air Minum.

Sekali lagi, bukan rumus rahasia. Ini adalah caraku mengukur kebutuhan dan kemampuan seseorang terhadap calon pasangannya. Dan, itu berlaku pada kedua belah pihak.

Pertama, Tahu Kebutuhan dan Kemampuan.

Aku tidak berbicara tentang keinginan. Tapi kebutuhan. Sebab, ini berkaitan dengan kemampuan pemenuhan kebutuhan calon pasangan.

Anggaplah, seorang perempuan tahu, kebutuhannya satu gelas penuh. Apapun itu. Nah, lelaki calon pasangannya, mampu tidak memenuhi kebutuhan satu gelas itu? Jika mampu, apa lagi alasan menunda?

Bagaimana jika tidak mampu? Ada varian kedua.

Kedua. Kompromi Kebutuhan serta Kemampuan.

Secara rasional, tak akan berjodoh, jika kebutuhan seseorang satu gelas penuh. Namun, kemampuan calon pasangan hanya setengah gelas. Kecuali ada kompromi!

Ada dua jalan. Kompromi Pertama. Menurunkan standar kebutuhan dengan kesadaran atau sepenuh rela, agar setara dengan kemampuan pemenuhan oleh calon pasangan terhadap kebutuhan.

Kompromi Kedua. Karena kebutuhan satu gelas, sedangkan kemampuan hanya setengah gelas. Pasangan tersebut bersedia bersama-sama berjuang memenuhi kekurangan dari kebutuhan itu. Dan, rela menerima apapun hasil dari perjuangan tersebut.

Bakal sulit mengikat jodoh, ketika masing-masing pasangan belum tahu apa yang benar-benar dibutuhkan. Terkadang, bercampur antara kebutuhan dengan keinginan dan impian!

Gawatnya, akan semakin berat mengikat jodoh, jika berlaku abai atau tidak mau tahu, seberapa besar ukuran kemampuan calon pasangan untuk memenuhi kebutuhan itu.

Dan, apapun upaya serta usaha yang dilakukan untuk mengikat jodoh. Tanpa kekuatan doa, akan terasa sulit menjadi nyata.

Ilustrasi pasangan menikah (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi pasangan menikah (sumber gambar: pixabay.com)
Jejangan Bukan tentang Jodoh, tapi Pertanyaan Kapan Nikah?

Lupakanlah untuk menemukan lelaki yang sempurna, atau mendapatkan perempuan yang sempurna. Karena, keberadaan pasangan yang akan mewujudkan "kesempurnaan" itu.

Paragraf di atas, kukira bisa menjadi panduan apatah mencari jodoh secara otonom, atau melalui perjodohan pihak ketiga. Itu bukan rumusku. Tapi hipotesis kaum humanis. Sebab, no body is perfect, tah?

Mencari jodoh bukan lagi urusan butuh atau gengsi. Bukan pula tentang area kesiapan psikologi hingga materi. Apalagi tertekan dengan pertanyaan kapan nikah?

Hematku, adalah bagaimana melakukan kompromi pada diri sendiri. Dan, menemukan solusi menerima secara tulus "keterbatasan" calon pasangan sebagai pribadi.

Sisanya? Tetaplah iringi dengan doa. Jangan lupa, pakai share loc. Biar tak salah alamat.

"Abang dulu, bagaimana?"
"Aku memilih mencintai, tanpa tetapi!"
"Aduhaaay..."

Curup, 22.05.2021
Zaldy Chan
[Ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun