Kukira, tak ada yang lebih menghangatkan hati, selain kata "saling" ketika dipadupadankan dengan kata "maaf" pada saat Idul Fitri, kan?
Bagi Praktisi Parenting, dalam keluarga, kata "saling" disarankan tak hanya pada kalimat saling memaafkan. Tapi akan semakin indah, bila ditemani saling menolong dan saling berucap terima kasih.
Dalam tradisi komunikasi saat idul fitri, biasanya memuat dua hal. Pertama, ucapan selamat merayakan Hari Kemenangan. Dan, kedua, ungkapan permintaan maaf
Kali ini, aku tak akan menakar dialektika dari kata "memaafkan" atau "dimaafkan".
Silakan saja, jika ada yang mendalami makna kata "memaafkan" berupa kalimat aktif. Kemudian, jika melakukan dianggap memiliki inisiatif. Atau kata "dimaafkan" bermakna pasif, dan lebih cenderung pada sikap menunggu.
Toh, yang memahami makna sebenarnya dari bahasa, tergantung pengguna, tah?
3 Varian Ungkapan Meminta Maaf dan Kesalahan
Berkaitan dengan kata memaafkan atau dimaafkan kali ini, Aku tak bisa menyigi motif dan niat, karena isi hati tak bisa ditebak, kan?
Secara kiramologi, kucoba menyigi 3 varian dari cara mengungkapkan maaf dari 3 bentuk kesalahan yang dilakukan. Aku tulis, ya?
Pertama. Ungkapan dengan Lisan.
Tak sedikit orang yang memegang kesakralan mengungkapkan maaf dengan lisan. Baik dengan bertemu langsung atau melalui gawai.
Mungkin saja hal yang diungkapkan sama, antara yang satu dengan yang lain. Namun, siapapun kukira akan bisa membedakan rasanya, karena berbeda "cara", kan?
Kelebihannya, setiap pribadi bisa menilai dan mengukur ekspresi masing-masing. Termasuk urusan ketulusan dan keikhlasan. Tentu saja menurut standar masing-masing.
Hal ini juga berkorelasi dengan kesalahan-kesalahan lisan. Kesalahan lisan sulit didokumentasikan, terkadang cenderung gampang dilupakan. Kecuali jika orangnya kuat ingatan atau malah dendaman?
Gawatnya. Kesalahan lisan sulit dihapus. Terkadang ia merekat erat. Usai merambat melalui ruang dengar, singgah di pikiran, akhirnya betah bertahan dalam hati. Hiks..
Kedua. Ungkapan dengan Tulisan
Tak hanya memanfaatkan perkembangan teknologi yang memapas jarak, ruang serta waktu. Namun, saat ini ungkapan maaf melalui tulisan lebih dominan dilakukan.
Materi tulisan, kemasan dan kata-kata bisa leluasa dipilih dan dipikirkan. Tak juga sebatas itu, namun kalimat yang sama bisa digunakan berkali-kali. Kepada siapapun, di manapun, dan kapan pun.
Silakan simak kiriman chitchat melalui aplikasi bertukar pesan. Jejangan dari Sabang sampai Merauke ada yang menggunakan konsep dan kemasan yang persis sama, kan?
Kemudahan mengungkapkan maaf melalui tulisan, juga bisa dilalukan saat melakukan kesalahan dalam bentuk tulisan. Karena jika salah, tinggal dihapus. Apatah pembaca akrab dengan kalimat "pesan ini sudah dihapus"?
Hematku, jika salah dalam menulis. Tinggal diperbaiki yang salah, tah? Bukan malah menghapus keseluruhan tulisan. Tapi, ini balik lagi pada pilihan masing-masing, kan?
Susahnya, jika kesalahan lisan cenderung mudah dilupakan. Maka, kesalahan tulisan sangat mudah didokumentasikan.
Ketiga. Ungkapan dengan Perbuatan.
Bagiku, ini yang sulit diukur. Baik cara mengungkapkan maaf, maupun saat melakukan kesalahan dengan perbuatan.
Alat ukurnya semakin susah. Karena unsur subjektivitas lebih mendominasi. Tapi ada! Contohnya?
Bagi orang barat, memegang atau mengusap kepala adalah hal biasa. Bahkan dianggap teman dekat. Lihat saja selebrasi para pesepak bola.
Namun, di Indonesia, jangan coba-coba sembarang usap kepala! Apalagi kepada orang yang berusia lebih tua, tah? Itu dianggap salah atau perilaku tak santun.
Berbeda halnya dengan para petarung. Anggaplah petinju atau petarung martial art. Setelah saling hajar, baku pukul hingga berdarah atau cedera parah.
Cara mereka menyelesaikan? Cukup dengan bertukar salam atau saling berpelukan. Bagiku, itu cara meminta maaf yang elegan! Walau tanpa ucapan lisan dan tanpa tulisan. Karena berkaitan erat dengan jiwa sportivitas dan supportivitas.
Aku membayangkan. Betapa damainya, jika tradisi komunikasi saling memaafkan itu, tak hanya terjadi pada momen idul fitri, tapi melekat dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika kemacetan interaksi antar pribadi, diwarnai dengan ungkapan maaf. Entah melalui lisan, tulisan apalagi jika diiringi perbuatan.
Sehingga, ungkapan memaafkan dan dimaafkan, tak sekadar simbolik dan seremonial di hari raya. Tapi melekat sebagai panggugah jiwa.
Aih, alangkah indahnya! Andai saling memaafkan, setara dengan kalimat saling cinta dan saling rindu. Aduhaaay...
Curup, 13.05.2021
zaldy chan
[Ditulis untuk Kompasiana]
Selamat Merayakan Idul Fitri 1 Syawal 1442 H
Mohon Maaf Lahir dan Batin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H