Kelebihannya, setiap pribadi bisa menilai dan mengukur ekspresi masing-masing. Termasuk urusan ketulusan dan keikhlasan. Tentu saja menurut standar masing-masing.
Hal ini juga berkorelasi dengan kesalahan-kesalahan lisan. Kesalahan lisan sulit didokumentasikan, terkadang cenderung gampang dilupakan. Kecuali jika orangnya kuat ingatan atau malah dendaman?
Gawatnya. Kesalahan lisan sulit dihapus. Terkadang ia merekat erat. Usai merambat melalui ruang dengar, singgah di pikiran, akhirnya betah bertahan dalam hati. Hiks..
Kedua. Ungkapan dengan Tulisan
Tak hanya memanfaatkan perkembangan teknologi yang memapas jarak, ruang serta waktu. Namun, saat ini ungkapan maaf melalui tulisan lebih dominan dilakukan.
Materi tulisan, kemasan dan kata-kata bisa leluasa dipilih dan dipikirkan. Tak juga sebatas itu, namun kalimat yang sama bisa digunakan berkali-kali. Kepada siapapun, di manapun, dan kapan pun.
Silakan simak kiriman chitchat melalui aplikasi bertukar pesan. Jejangan dari Sabang sampai Merauke ada yang menggunakan konsep dan kemasan yang persis sama, kan?
Kemudahan mengungkapkan maaf melalui tulisan, juga bisa dilalukan saat melakukan kesalahan dalam bentuk tulisan. Karena jika salah, tinggal dihapus. Apatah pembaca akrab dengan kalimat "pesan ini sudah dihapus"?
Hematku, jika salah dalam menulis. Tinggal diperbaiki yang salah, tah? Bukan malah menghapus keseluruhan tulisan. Tapi, ini balik lagi pada pilihan masing-masing, kan?
Susahnya, jika kesalahan lisan cenderung mudah dilupakan. Maka, kesalahan tulisan sangat mudah didokumentasikan.
Ketiga. Ungkapan dengan Perbuatan.
Bagiku, ini yang sulit diukur. Baik cara mengungkapkan maaf, maupun saat melakukan kesalahan dengan perbuatan.
Alat ukurnya semakin susah. Karena unsur subjektivitas lebih mendominasi. Tapi ada! Contohnya?