Sebagai seorang ayah, adalah kewajibanku, agar semua anakku menjalankan ibadah puasa. Terutama di bulan ramadan.
Dengan alasan itu, maka aku berusaha mengenalkan puasa kepada anakku sejak mereka berusia dini.
Aku pribadi, membidik jenjang usia saat sekolah taman Kanak-Kanak, sebagai awal anakku untuk belajar berpuasa sehari penuh.
Di antara upaya mengenalkan puasa itu. Adalah bagaimana mereka terbiasa menghadapi perubahan pola dan waktu makan. Salah satunya, sahur.
Aku tulis kisah Ayah dan anak versiku, jika berhubungan dengan santap sahur. Yang kemudian menjadi tradisi di waktu sahur bagiku.
Bukan rahasia lagi. Sebagai ayah (baca: orangtua). Butuh "syarat-syarat" khusus, agar anak mau makan sahur. Biar tubuhnya tetap kuat menjalani ibadah puasa. Apa saja?
Pertama. Betah seperti Setrikaan.
Ini syarat penting. Membangunkan anak-anak saat lelap dalam tidur. Butuh perjuangan, juga kerelaan hati untuk bolak-balik seperti setrikaan.
Mungkin butuh dua atau tiga kali ulang, agar anak benar-benar terjaga dari tidurnya. Jika menyerah dan tak betah jadi setrika, maka anak tak jadi makan sahur.
Akhirnya, nereka pun memiliki alasan untuk tidak berpuasa. "Kan, kami tidak sahur, Yah?"
Kedua. Burubah jadi Perayu Ulung.
Kukira, nyaris semua orangtua punya bujuk rayu. Misalnya berbentuk perjanjian. Jika anak puasa satu bulan penuh, atau sesuai kemampuan dan jumlah hari anak berpuasa. Akan dapat hadiah
Begitu juga saat membangunkan sahur. Butuh trik dan keterampilan untuk mengumbar bujuk rayu. Mungkin dengan bisikan atau ucapan yang mampu membuat hati anak luluh. Hingga bersedia bangkit dari tempat tidurnya.
Jika tak punya rayuan, atau hanya sekedar ajakan untuk mengingatkan saat membangunkan? Aku ragu, anak-anak akan terjaga.
Ketiga. Butuh Rumus seperti Sopir Angkot.
Ini adalah pengalamanku pada semua anakku. Usai berjuang membangunkan dengan cara setrikaan, serta mengubah diri menjadi perayu ulung.
Maka aku harus mengubah diri menjadi sopir angkot. Menjemput anak dari tempat tidur. Menggendong ke kamar mandi untuk mencuci muka, kemudian mengantarkan ke meja makan untuk santap sahur.
Aku tak butuh alasan kenapa melakukan itu. Targetku, anak bisa santap sahur, kemudian bisa menjalankan ibadah puasa.
Keempat. Jangan Pernah Ciderai Janji.
Kembali, ini adalah pengalamanku. Jika berjanji sesuatu pada anak, jangan pernah diingkari. Bisa gawat!
Misal, orangtua berjanji akan menyediakan menu sahur atau menu berbuka sesuai permintaan anak. Maka, mesti dipenuhi. Atau jangan pernah berjanji.
Karena, anak akan memiliki alasan untuk menolak. Apapun ajakan yang ditawarkan orangtua, ketika perjanjian yang dilakukan, secara sepihak dilupakan.
Sesungguhnya, 4 tindakan di atas hanya berdasarkan pengalamanku. Sebab adalah bohong, jika aku sebagai ayah sekaligus orangtua, tidak merasakan kebanggaan ketika anak berpuasa.Â
Apalagi, jika hal itu mampu mereka lakukan sejak usia kanak-kanak. Aku hanya berharap, suatu saat mereka memiliki ingatan dan kenangan di saat ramadan tentangku. Hiks..
Jadi?
Hal di atas adalah syarat bagi orangtua versiku. Saat waktu sahur bersama anak-anakku.
Namun, dua tahun terakhir. 4 syarat itu sudah berkurang satu. Aku tak lagi menjadi sopir angkot. Ketika anak terkecilku, sudah malu untuk digendong. Karena merasa sudah besar. Ahaaay...
Berpuasa tak hanya tentang ibadah. Tapi juga tentang perubahan kebiasaan. Dan hal itu tak akan terlaksana jika tak diikuti dengan pembiasaan. Jangankan anak-anak. Orang dewasa juga bakal gagap. Tah?
Mungkin ada orangtua yang memiliki kisah yang sama denganku? Hayuk salaman!
Curup, 01.05.2021
Zaldy Chan
(Ditulis untuk Kompasiana)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H