"Satitiak jadian lauik, sakapa jadian gunuang"
Sengaja kubuka tulisan ini, dengan mengutip satu pepatah Minang. Secara harfiah, pepatah itu bermakna "setitik air, jadikan laut. Sekepal tanah jadikan gunung".
Begitulah pijakan awalku dua tahun lalu bergabung di Kompasiana. Dengan pengetahuan kepenulisan secukupnya, aku nekad mulai menayangkan tulisan. Bukan sok-sok untuk mengajari. Tapi, untuk belajar menulis.
Sebab aku percaya, belajar menulis akan nirmakna tanpa adanya tulisan.
Karena menyukai fiksi, aku bermain di zona nyaman itu, nyaris satu tahun penuh. Puisi, cerpen hingga novel, bergantian tayang tanpa jeda. Hingga menyentuh angka 500-an artikel. Tapi, aku pengingat yang buruk, tentang apa saja capaianku pada tahun itu. Hiks...
Event THR Kompasiana 2019, adalah pemicu awal yang menarikku secara serius keluar dari "comfort zone" di kanal fiksi. Satu bulan penuh menulis dengan tema yang setiap hari berbeda, membuatku tertantang!
Aku mulai membaca tulisan Kompasianers senior, menggali dan menyigi berbagai sumber literature, kemudian melakukan rumus ATM (Ambil, Tiru dan Modifikasi). Targetku? Menyelesaikan tantangan event itu semampuku.
Hasilnya? Pastinya, aku bukan salah satu pemenang event. Dan, aku cukup tahu diri dengan kualitas tulisanku sebagai anak bawang di kawah candradimuka bernama Kompasiana, kan?
Hikmahnya? Aku mulai berani dan sedikit merasa percaya diri untuk menulis di luar kanal fiksi.
Hal itu terus berlanjut di tahun kedua aku di Kompasiana. Artikelku yang tayang lebih berwarna. Tak hanya kanal fiksi, tapi juga kanal di luar fiksi. Walau fiksi masih tetap mendominasi.