Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Gunakan Rumus "Apa Jalan dek Ditampuah, Lanca Kaji Dek Diulang!" Caraku Menambah Skill Menulis Selama Ramadan

15 April 2021   21:52 Diperbarui: 15 April 2021   22:15 1535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Satitiak jadian lauik, sakapa jadian gunuang"

Sengaja kubuka tulisan ini, dengan mengutip satu pepatah Minang. Secara harfiah, pepatah itu bermakna "setitik air, jadikan laut. Sekepal tanah jadikan gunung".

Begitulah pijakan awalku dua tahun lalu bergabung di Kompasiana. Dengan pengetahuan kepenulisan secukupnya, aku nekad mulai menayangkan tulisan. Bukan sok-sok untuk mengajari. Tapi, untuk belajar menulis.

Sebab aku percaya, belajar menulis akan nirmakna tanpa adanya tulisan.

Karena menyukai fiksi, aku bermain di zona nyaman itu, nyaris satu tahun penuh. Puisi, cerpen hingga novel, bergantian tayang tanpa jeda. Hingga menyentuh angka 500-an artikel. Tapi, aku pengingat yang buruk, tentang apa saja capaianku pada tahun itu. Hiks...

Event THR Kompasiana 2019, adalah pemicu awal yang menarikku secara serius keluar dari "comfort zone" di kanal fiksi. Satu bulan penuh menulis dengan tema yang setiap hari berbeda, membuatku tertantang!

Aku mulai membaca tulisan Kompasianers senior, menggali dan menyigi berbagai sumber literature, kemudian melakukan rumus ATM (Ambil, Tiru dan Modifikasi). Targetku? Menyelesaikan tantangan event itu semampuku.

Hasilnya? Pastinya, aku bukan salah satu pemenang event. Dan, aku cukup tahu diri dengan kualitas tulisanku sebagai anak bawang di kawah candradimuka bernama Kompasiana, kan?

Hikmahnya? Aku mulai berani dan sedikit merasa percaya diri untuk menulis di luar kanal fiksi.

Hal itu terus berlanjut di tahun kedua aku di Kompasiana. Artikelku yang tayang lebih berwarna. Tak hanya kanal fiksi, tapi juga kanal di luar fiksi. Walau fiksi masih tetap mendominasi.

Pada tahun kedua, aku tak hanya ikut event THR Kompasiana tahun 2020. Aku pun mulai coba-coba mengikuti event yang diselenggarakan komunitas lain. Hasilnya? Seperti melempar jala ke sungai! Berhasil, mesti bersyukur. Kalau gagal? Hajar lagi! Eh, ikut lagi...

Ilustrasi belajar menulis (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi belajar menulis (sumber gambar: pixabay.com)

"Adaik nan mudo mananggung rindu, adaik nan tuo manahan ragam"

Ini petatah kedua yang kuajukan sebagai alur sejarah kepenulisanku di Kompasiana. Arti harfiah dari pepatah di atas adalah: "Kebiasaan anak muda menanggung rindu, kebiasaan orangtua menahan diri".

Di awal  bergabung dulu, cara dan tema tulisanku khususnya di kanal fiksi, seperti pepatah itu. Layaknya anak muda, didominasi dengan tulisan tentang romantika serta romansa kehidupan dan percintaan.

Seiring waktu, tanpa aku ketahui, entah siapa yang mempengaruhi atau hal apa yang jadi pemacunya, tulisanku sedikit banyaknya, perlahan mulai bergeser. Tak lagi menorehkan kata-kata dengan tema hubungan asmara.

Namun, menurutku, pola dan pilihan tema tulisanku mulai beragam. Meluas tentang fenomena kekinian hingga kritik sosial.

Begitu pula topik pembahasan di kanal nonfiksi, aku mulai berani membahas hal-hal yang kupikir berguna atau bermanfaat bagi orang lain. Sesuatu yang dulu tak pernah kupikirkan di awal bergabung. Pokoke nulis, dan bahagia jika ada apresiasi dari pembaca.

Eh, tanpa aku sadari. Hingga memasuki tahun ketiga di Kompasiana, ternyata tulisan-tulisan nonfiksiku juga mulai dilirik. Itu, menjadi api semangat bagiku, untuk percaya bahwa, aku bisa menulis artikel nonfiksi. Ahaaay...

Ilustrasi memilih kata dalam menulis (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi memilih kata dalam menulis (sumber gambar: pixabay.com)

"Bakato bapikia dulu, ingek-ingek sabalun kanai.

Samantang kito urang nan tahu, ulemu padi nan kadipakai"

Ini pepatah Minang yang sekarang kujadikan panduan bagi diriku dalam menulis. Maknanya adalah "Jika bicara berpikir dulu, ingat lagi sebelum kena akibatnya. Jangan pernah merasa paling tahu, pakailah ilmu padi".

Bagiku, menulis adalah layaknya berbicara. Yaitu menggunakan tulisan, bukan lisan. Jika menilik makan dari pepatah di atas, maka ada satu PR terbesar bagiku dalam hal menulis.. Di luar hal teknis kepenulisan yang memang masih amburadul.

Kesulitanku adalah, bagaimana caranya memilih kata-kata dalam tulisan tanpa bermaksud mengajari. Aku terkadang, merasa malu saat membaca ulang tulisan-tulisan yang lama. Seakan-akan aku paling tahu dan terkadang sok tahu! Hiks....

Aku acapkali terpukul, jika membaca kolom opini atau esai dari Gunawan Muhammad, Syafii Maarif, Rosihan Anwar, Emha Ainun Najib atau Zawawi Imron. Atau cerpen-cerpen karya penulis ternama yang acapkali hadir di surat kabar nasional.

Bahasa yang mereka gunakan, membuatku penasaran, cemburu, iri hati bahkan nyaris putus asa. Entah bagaimana cara mereka menaklukkan dan mempermak kata-kata, sehingga diriku tergugah, bila membaca karya mereka. Rasa iri yang bikin perih! Hiks lagi...

Namun, aku mengerti. Kualitas mereka tak ujug-ujug dihadirkan dari langit. Mereka telah mencicipi asam garam kehidupan yang pekat dan lekat. Hingga mampu melahirkan karya-karya berkelas. Dan, tentu saja itu butuh waktu.

Ilustrasi keyboard sebagai media menulis (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi keyboard sebagai media menulis (sumber gambar: pixabay.com)
Terus?

Begitulah! Jika ditanya, target skill apa yang mau kutambah selama Ramadan? Sudah kuuraikan, tah? Menambah skill menulis! Karena, waktuku lebih banyak senggang di saat Ramadan.

Jika di tahun pertama, dengan modal nekad. Targetku adalah bisa menulis konsisten dan menayangkan tulisan yang bisa dibaca orang lain.

Maka pada tahun kedua, targetku bertambah lagi. Tak hanya menayangkan tulisan secara konsisten, tapi kalau bisa tulisanku memberi manfaat dan berguna bagi orang lain. Walau belum tahu cara mengukurnya.

Tahun ketiga ini, targetku adalah bagaimana berbagi melalui tulisan tanpa kesan mengajari! Berat? Belum tahu! Tapi aku akan terus mencoba. Seperti pepatah Minang yang kujadikan penutup tulisan ini :

"Apa jalan dek ditampuah, lanca kaji dek diulang!"

Artinya: Hapal jalan karena sering dilewati, lancar ilmu karena sering diulang. 

Kukira, menulis adalah salah satu ilmu yang harus terus dilakukan. Dan, berulang-ulang!

Sepakat?

Curup, 15.04.2021

Zaldy chan

[ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun