Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ucapan Maaf Jelang Ramadan, Sebuah Seni atau Identitas Diri?

11 April 2021   16:12 Diperbarui: 12 April 2021   10:04 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

selendang emas tenunan sendiri
elok dipakai sambil bernyanyi
pesan dikirim pengganti diri
sebagai tanda silaturahmi

tari piring rentak melayu
rentak langkah hitung delapan
bulan ramadan di ambang pintu
khilaf dan salah mohon dimaafkan

Dua larik pantun ini, kubaca di beberapa grup WA yang kuikuti. Kemudian diakhiri dengan identitas dari pengirim. Misalnya: Bejo dan Istri atau Bejo Sekeluarga. Aih, Syahdu nian, kan?

Biasanya, pada momentum awal Ramadan dan Idul Fitri, akan ditemukan berbagai varian ucapan dan ungkapan senada. Secara tiba-tiba, semua orang menjadi seniman kata dan pujangga!

Aku merasakan dimensi kehidupan yang berkesenian. Ruang-ruang jiwa nan hampa dipenuhi sel-sel keindahan. Sehingga, ungkapan permintaan maaf pun diwarnai pelangi kata-kata bermakna.  

Ilustrasi pena (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi pena (sumber gambar: pixabay.com)
Ucapan Meminta Maaf, Sebuah Seni atau Identitas Diri?

Aku berusaha mengabaikan kejanggalan yang ada. Ketika kalimat dan ucapan yang sama, dikirim oleh nama-nama yang berbeda! Termasuk menanam bibit dan benih curiga. Sebab, aku sempat membaca pepatah berikut ini :

"Ajining raga tumata ing busana, ajining dhiri gumantung kedaling lathi."

Secara bebas, kumaknai kutipan pepatah jawa itu: "Baik dan buruknya seseorang, bisa dinilai dari cara berpakaian dan cara berbicara".

"Cara berbicara" dalam pepatah itu, kukira tak hanya bahasa lisan. Namun, juga bahasa tulisan.

Berpijak dari pepatah itu, mari merepotkan diri untuk menilik ucapan itu, dengan menerka karakter pemilik pesan. Semisal membandingkan dengan tiga ucapan berikut ini.

Marhaban, Yaa Ramadan

Mohon dimaafkan

Walau terkesan individual, anggaplah ucapan ini berasal dari orang yang super sibuk. Jadi, tak sempat untuk merangkai kata-kata penuh estetika yang menyentuh rasa. Namun, tidak mengabaikan lingkungan dan keadaan sekitar.

Cukuplah dengan pesan yang singkat dan to the point. Itu sudah mewakili yang ingin disampaikan, tah? Kerennya, mereka tak melakukan copy-paste ucapan yang banyak beredar di media sosial.  

Kami sekeluarga mengucapkan selamat menunaikan ibadah di bulan suci Ramadan. Semoga kita selalu diberi kesehatan. Mohon maaf lahir dan bathin.

Pernah membaca ucapan seperti ini? setidaknya tertera di baliho atau spanduk. Terutama di musim kampanye untuk pemilu atau pilkada. Disertai foto, dengan tangan menangkup di dada, di bibir mereka ada segaris senyuman seakan mengucapkan via tulisan.

Karena tak lagi musim kampanye, hal seperti itu menghilang. Namun tren ucapan bernada seperti itu tak hilang. Bagiku, jika mendapat ucapan seperti itu, mereka adalah orang-orang yang hidup kesehariannya memang penuh dengan sikap formal, sehingga format ucapan mereka template.

Hoi, bentar lagi Ramadan!

Gak usah repot kirim pesan, Lu semua udah Gue maafkan!

Biasanya, jenis ucapan seperti ini ditujukan untuk orang yang dekat dan akrab. Konsumen pesannya pun untuk kalangan terbatas. Semisal dalam grup WA Alumni. Walau, tak menutup kemungkinan, biar terlihat "tampil" beda, kan?

Aku pribadi menunggu tipe orang yang menulis pesan seperti ini. Karakter orang yang riuh dan heboh. Terkadang, aku melupakan esensi dari ucapan mereka tentang sepatah kata maaf. Aih...

Sepertinya, masih ada beberapa contoh ucapan yang memiliki tujuan sama seperti pantun di awal tulisan. Namun, artikel ini akan semakin panjang. Jadi, aku cukupkan tiga jenis ucapan saja, ya?

Ucapan maaf (sumber gambar: pixabay.com)
Ucapan maaf (sumber gambar: pixabay.com)
Akhirnya...

Sesungguhnya, aku tak bermaksud mengkotak-kotakkan seseorang. Tulisan ini, hanya menuliskan caraku menikmati ucapan yang kubaca. Dan, tak menutup ruang, jika pembaca memiliki interpretasi dan tanggapan yang berbeda, kan?

Eh, sepertinya ada satu jenis ucapan lagi. Yang juga jamak meramaikan momentum menyambut ramadan. Semisal:

"Selamat menunaikan ibadah puasa. Kami menyediakan menu berbuka puasa..."

"Usai Ramadan, pasti lebaran. Kami menyediakan pakaian dengan beragam model dan ukuran..."

Mari menikmati ucapan menjelang Ramadan dengan elegan. Dengan tidak menafikan inti dari pesan, untuk saling memaafkan. Setidaknya, menebarkan senyuman.

"Tapi, banyak ucapan yang copas, Bang!"

"Bisa jadi, kesalahan yang dilakukan juga copas, kan?"

Maaf lahir bathin, ya? Semoga kita semua diberi keikhlasan.

Curup, 11.04.2021

Zaldy chan

[Ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun