Silakan tanya pada semua suami. Sehebat dan sesiaga apapun mereka, akan gagap dan gugup saat menunggu kelahiran anaknya. Apatah lagi mengikuti tumbuh kembang sang anak sejak lahir.
Kedua. Ayah Memiliki Jatah Waktu yang Singkat
Aku tidak membahas tentang kuantitas dan kualitas waktu seorang ayah, dengan alasan harus bekerja di luar rumah. Tapi tentang "jatah" waktu untuk menjalin kedekatan.Â
Bagiku, semakin bertambah usianya, semakin berkurang jatah waktuku bersama anak perempuan.
Aku tak tahu pengalaman Ayah yang lain, Tapi aku mengalami itu! Sejak bayi, aku bebas memeluk, memangku, menggendong hingga urusan BAB.Â
Semakin bertambah usia, momen indah itu, perlahan berkurang. Saat TK, Anakku sudah tak mau dipangku, apalagi digendong. Hiks...
Sejak kelas enam SD- saat ini, anak perempuanku kelas 1 SMP- aku sudah tak diizinkan lagi mencium. Kecuali usap kepala dan mencium ubun-ubun Alasannya? Malu dengan teman-teman. Aku pun harus menghargai privasi itu, kan? Hitung-hitung belajar menjaga diri, tah?
Ketiga. Ayah Bertanggung jawab sebagai Role Model Awal
Ada ujar-ujar. Cinta pertama seorang perempuan itu pada ayahnya. Tapi, aku tak akan membahas dan membenarkan hal absurd itu.Â
Bagiku, sosok ayah akan menjadi role model bagi anak perempuannya, ketika tiba saatnya mengenal lawan jenis.
Rumus gampangnya. Jika anak laki-laki atau perempuan yang dibesarkan sosok ibu serta ayah yang luar biasa, ia cenderung akan mencari istri atau suami yang nyaris seperti ibu dan ayahnya. Siapa yang tak menginginkan figur pendamping yang sempurna?
Bayangkan, jika ternyata sebagai seorang ayah, aku melakukan sesuatu yang salah dan parah?Â
Maka, anak perempuanku kemungkinan besar akan mencari figur lelaki lain, kan? Dan, jika ternyata bertentangan dengan tabiatku? Berujung pertengkaran, tah?